Sabtu, Maret 22, 2008

Piagam Perjuangan

PIAGAM PDI PERJUANGAN

Dengan Rahmat Tuhan YME

Cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan Indonesia yang demokratis, bersatu, berkemakmuran, berkeadilan, dan berkeadaban sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan cita-cita bersama dari setiap rakyat Indonesia. Cita-cita di atas merupakan manifestasi ideal dari amanat penderitaan rakyat yang merupakan substansi dan sekaligus arah dari semua aktivitas pergerakan rakyat yang akhirnya telah membawa Indonesia ke arah kemerdekaannya. Cita-cita yang sama juga merupakan simpul-simpul pengikat utama gerakan reformasi yang telah mengakhiri kekuasaan otoritarianisme Orde Baru. Cita-cita di atas, dengannya, telah dan akan terus menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perkembangan peradaban Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Indonesia yang demokratis adalah Indonesia yang menempatkan kedaulatan tertinggi ditangan rakyatnya. Indonesia yang bersatu adalah Indonesia yang ditandai oleh tingginya derajat integrasi bangsa, baik berupa integrasi teritorial maupun politik, dan tingginya kohesifitas sosial antar berbagai komponen bangsa yang majemuk ini. Indonesia yang berkemakmuran adalah Indonesia yang mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan material warganya yang sesuai standar-standar yang layak bagi kemanusiaan. Indonesia yang berkeadilan adalah Indonesia yang ditandai oleh sempitnya

jurang kesenjangan sosial dan kesenjangan antar daerah. Indonesia yang bekeadaban adalah Indonesia yang ditandai oleh tingginya derajat moralitas dan etika dalam masyarakat dan di antara penyelenggara kekuasaannya, serta Indonesia yang ditandai oleh minimnya peggunaan kekerasan dalam proses sosial, ekonomi dan politiknya.

Sebagai cita-cita bersama, perwujudan Indonesia yang demokratis, bersatu, berkemakmuran, berkeadilan dan berkeadaban, merupakan hak sekaligus tanggung jawab bersama setiap anak negeri. Perwujudan cita-cita di atas menuntut keterlibatan semua energi bangsa, baik secara individual maupun secara kolektif.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan merupakan salah satu wahana pengorganisasian rakyat yang lahir, tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari upaya bersama rakyat guna mewujudkan Indonesia yang demokratis, bersatu, berkemakmuran, berkeadilan dan berkeadaban di atas.

Untuk mencapai statusnya sebagai bagian prinsipil dari perjuangan rakyat mewujudkan cita-cita di atas, PDI Perjuangan telah berketetapan menjadikan dirinya sebagai sebuah partai modern yang tetap mempertahankan jati dirinya sebagai partai kerakyatan.

Sebagai sebuah partai modern, PDI Perjuangan haruslah mampu untuk menjalankan dan mewujudkan paling tidak dua hal berikut :

Pertama, PDI Perjuangan dituntut untuk mampu menjalankan fungsi-fungsi minimum kepartaian pada umumnya, yakni fungsi agregasi dan artikulasi kepentingan, pendidikan politik rakyat, sosialisasi politik, komunikasi politik, penempatan kader dalam jabatan-jabatan politik, dan pengelolaan konflik secara damai. Untuk ini, PDI Perjuangan haruslah disusun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern, termasuk di dalamnya, prinsip-prinsip pemisahan dan pembagian kewenangan dan tanggung jawab, serta desentralisasi kekuasaan.

Kedua, PDI Perjuangan juga dituntut untuk mampu menjadi arena dan sarana bagi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya. Untuk itu, penerimaan, penghargaan dan komitmen terhadap tegak dan berlangsungnya kedaulatan rakyat, kemajemukan, keterbukaan, serta kesamaan hak dan kewajiban adalah prinsip-prinsip utama partai yang harus dipahami, dihayati dan dijalankan oleh setiap kader dan warga PDI Perjuangan.

Sebagai partai yang mempunyai "roh" kedaulatan rakyat, PDI Perjuangan dicirikan oleh adanya pengakuan dan penghargaan terhadap demokrasi, kebangsaan dan keadilan sosial. Demokrasi menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat yang diwujudkan melalui kedaulatan anggota partai. Kebangsaan menempatkan prinsip "kewarganegaraan" yang mengakui adanya kesamaan hak dan kewajiban warga negara tanpa kecuali sebagai dasar satu-satunya dalam pengelolaan partai. Bagi PDI Perjuangan prinsip ini menemukan bentuk kongkritnya lewat sifatnya sebagai partai terbuka yang menempatkan kemajemukan sebagai kekayaan dan rahmat Tuhan. Keadilan sosial mengungkapkan komitmen PDI Perjuangan untuk senantiasa mengarahkan semua aktivitas dan energinya bagi kepentingan rakyat banyak.

Cita-cita Indonesia yang demokratis, bersatu, berkemakmuran, berkeadilan dan berkeadaban menuntut bukan saja sebuah organIsasi politik yang modern dan mempunyai "roh" kedaulatan rakyat, tetapi juga menuntut moralitas dan etika yang tinggi.

PDI Perjuangan telah berketetapan menjadi bagian prinsip dari upaya bersama rakyat Indonesia untuk membangun moralitas dan etika politik bangsa yang luhur. Untuk itu, program-program dan arah politik PDI Perjuangan pertama-tama dan terutama diarahkan guna mewujudkan pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, tapi sekaligus efektif. Penyudahan praktek KKN dan berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang diikuti oleh perjuangan untuk mewujudkan adanya supremasi dan tegaknya hukum, pembagian dan pembatasan kekuasaan yang memungkinkan berjalannya prinsip checks and balances, dan berjalannya pengawasan politik dan sosial merupakan agenda-agenda pokok PDI Perjuangan yang harus diwujudkan oleh setiap kader dan anggota PDI Perjuangan.

Demikian pula, sebagai bagian dari bangsa Indonesia PDI Perjuangan telah berketetapan menjadikan dirinya sebagai kekuatan perekat bangsa yang menjamin tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala cita-cita luhurnya.

Guna mewujudkan hal di atas, PDI Perjuangan telah berketetapan untuk mewujudkan prinsip desentralisasi yang sesungguhnya melalui pemberian otonomi yang luas kepada daerah-daerah. Otonomi daerah melibatkan pengalihan kekuasaan politik dan ekonomi dari pusat kepada daerah-daerah yang memungkinkan daerah-daerah bisa menemukan mekanismenya sendiri dalam pengelolaan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Demikian Piagam PDI Perjuangan ini dibuat sebagai haluan politik partai yang merupakan dasar bagi penyusunan AD/ART, program-program partai, keputusan-keputusan, dan dokumen-dokumen partai lainnya.

Kamis, Maret 20, 2008

MARS PDI PERJUANGAN


MARS PDI PERJUANGAN

Atas kasih dan kehendak Yang Maha Pencipta
Kita telah sepakat bersatu
Bersatu dalam satu rampak barisan
menentang kemiskinan

Atas Rahmat dan Bimbingan Yang Maha Kuasa
Kita telah bertekad berjuang
Berjuang untuk satu tujuan mulia
mencapai Indonesia sentosa
Bersama PDI Perjuangan
Bersama PDI Perjuangan
wadah kedaulatan rakyat Indonesia

Atas berkat dan kemurahan Yang Maha Esa PDI Perjuangan Jaya

Senin, Maret 17, 2008

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga

MUKADIMAH

Bahwa sesungguhnya cita-cita luhur untuk membangun dan mewujudkan Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, demokratis, adil dan makmur serta beradab dan berketuhanan sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan cita-cita bersama dari seluruh rakyat Indonesia

Perwujudan cita-cita bersama tersebut menuntut keterlibatan semua kekuatan bangsa, baik secara individual maupun secara kolektif, sekaligus merupakan hak dan tanggung jawab seluruh rakyat. PDI Perjuangan sebagai wadah dan alat perjuangan serta kekuatan politik rakyat berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945. Di dalam perwujudannya, PDI Perjuangan mempunyai jati diri kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial dengan watak demokratis, merdeka, pantang menyerah, dan terbuka yang seluruhnya merupakan modal perjuangan untuk membangun bangsa dan karakter bangsa serta menggerakkan kekuatan dan memperjuangan aspirasi rakyat menjadi kebijakan negara.

Untuk itu PDI Perjuangan mempunyai tugas mempertahankan dan mewujudkan cita-cita Negara Proklamasi 17 Agustus 1945, melaksanakan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mempersiapkan kader Bangsa.

Oleh karena itu, melalui kekuatan dan kekuasaan politik yang senantiasa akan diperjuangkan, PDI Perjuangan bertekad untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara kesejarahan PDI Perjuangan berawal dari berfusinya Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) dan Partai Murba menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 10 Januari 1973, yang di dalam perkembangannya, pada tanggal 1 Februari 1999 PDI menjadi PDI Perjuangan dalam bentuk badan hukum.

BAB I

NAMA, WAKTU, TEMPAT, dan KEDUDUKAN


Pasal 1
Partai ini bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, adalah partai politik disingkat dengan PDI Perjuangan.

Pasal 2
PDI Perjuangan yang untuk selanjutnya disebut Partai, didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya.

Pasal 3
Dewan Pimpinan Pusat Partai berkedudukan di Jakarta atau Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 4
Wilayah Partai meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbagi sesuai jenjang administrasi pemerintahan.

BAB II
ASAS, JATI DIRI, dan WATAK

Pasal 5
1. Partai berasaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sesuai jiwa dan semangat lahirnya pada 1 Juni 1945.

2. Jati Diri Partai adalah Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.

3. Watak Partai adalah demokratis, merdeka, pantang menyerah, dan terbuka.


BAB III
TUJUAN, FUNGSI dan TUGAS

Pasal 6
Tujuan Umum Partai

1. Mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Membangun masyarakat Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis, adil dan makmur.

Pasal 7
Tujuan Khusus Partai

1. Menghimpun dan membangun kekuatan politik rakyat;

2. Memperjuangkan kepentingan rakyat di bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara demokratis; dan

3. Berjuang mendapatkan kekuasaan politik secara konstitusional guna mewujudkan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Pasal 8
Fungsi Partai

Fungsi Partai :

1) Sarana guna membentuk dan membangun karakter bangsa;

2) Mendidik dan mencerdaskan rakyat agar bertanggung jawab menggunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara;

3) Menghimpun, merumuskan, dan memperjuangkan aspirasi rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

4) Menghimpun, membangun, dan menggerakkan kekuatan rakyat guna membangun masyarakat Pancasila; dan

5) Melakukan komunikasi politik dan partisipasi politik warga negara.


Pasal 9
Tugas Partai

Tugas Partai :

1) Mempertahankan dan mewujudkan cita-cita negara Proklamasi 17 Agustus 1945 di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) Melaksanakan, mempertahankan, dan menyebarluaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa;

3) Menghimpun dan memperjuangkan aspirasi rakyat sebagai arah kebijakan politik Partai;

4) Memperjuangkan kebijakan politik Partai menjadi kebijakan politik penyelenggaraan negara;

5) Mempersiapkan kader Partai dalam pengisian jabatan politik dan jabatan publik melalui mekanisme demokrasi, dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender;

6) Mempengaruhi dan mengawasi jalannya penyelenggaraan negara agar terwujud pemerintahan yang bersih dan berwibawa.


BAB IV

ORGANISASI

Bagian Pertama

Jenjang Kepengurusan

Pasal 10
1. Dalam rangka melaksanakan tugas Partai, disusun jenjang kepengurusan sebagai berikut :

Dewan Pimpinan Pusat Partai disingkat DPP yang meliputi wilayah NKRI;
Dewan Pimpinan Daerah Partai disingkat DPD yang meliputi wilayah Provinsi;
Dewan Pimpinan Cabang Partai disingkat DPC yang meliputi wilayah Kabupaten/ Kota;
Pengurus Anak Cabang disingkat PAC yang meliputi wilayah Kecamatan;
Pengurus Ranting Partai yang meliputi wilayah Desa/Kelurahan dan/atau yang setingkat;
Pengurus Anak Ranting Partai yang meliputi wilayah Dusun/Dukuh/Rukun Warga/Lorong/Gang dan/atau sebutan lainnya.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kepengurusan Partai diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan Peraturan Partai.


Bagian Kedua

Alat Kelengkapan Partai

Pasal 11
1. Dalam melaksanakan tugasnya kepengurusan Partai dilengkapi dengan alat-alat kelengkapan berupa :

a. Dewan Pertimbangan Partai;

b. Badan Pendidikan dan Pelatihan Partai disingkat Badiklat;

c. Badan Penelitian dan Pengembangan Partai disingkat Balitbang;

d. Badan Pemenangan Pemilihan Umum Partai disingkat BP-Pemilu;

e. Badan Informasi dan Komunikasi Partai disingkat Badan Infokom;

f. Badan Bantuan Hukum dan Advokasi;

g. Badan Penanggulangan Bencana;

h. Badan Verifikasi Partai;

i. Komite Disiplin Partai;

j. Fraksi Partai;

k. Sekretariat Partai.

2. Alat-alat Kelengkapan Partai sebagaimana dimaksud ayat 1 pasal ini, dibentuk di tingkat Pusat, Daerah, dan Cabang Partai, oleh kepengurusan pada tingkatannya;

3. Untuk melaksanakan tugasnya Alat Kelengkapan Partai sesuai dengan kewenangannya melakukan rapat-rapat;

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Alat Kelengkapan Partai diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 12
1. Dewan Pertimbangan Partai berfungsi memberikan nasehat dan pertimbangan kepada kepengurusan Partai di tingkatannya.

2. Dewan Pertimbangan Partai dibentuk di tingkat Pusat, Daerah, dan Cabang yang dalam melaksanakan tugasnya dapat melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Komponen Partai pada tingkatannya.

3. Dewan Pertimbangan Partai mengadakan Rapat sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun guna menyampaikan nasehat serta pertimbangannya kepada kepengurusan Partai sesuai dengan tingkatannya.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Pertimbangan Partai diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Bagian Ketiga

Organisasi Kemasyarakatan

Pasal 13
Partai membina hubungan, dan membangun kerjasama dengan Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Fungsional, dan Organisasi Profesi yang berbentuk lembaga, yayasan, paguyuban, dan lain-lain yang seasas dan/atau seaspirasi dengan Partai.

Pasal 14
Wujud hubungan kerjasama dengan Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Fungsional, dan Organisasi Profesi Partai dilakukan melalui Rapat Koordinasi Umum.

Bagian Keempat

Kedaulatan


Pasal 15
Kedaulatan Partai berada di tangan Anggota dan dilaksanakan sepenuhnya melalui Kongres.

Bagian Kelima

Keanggotaan

Pasal 16
1. Anggota Partai adalah calon anggota yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai anggota.

2. Keanggotaan Partai terdiri atas:

a. Anggota biasa;

b. Anggota kader;

c. Anggota kehormatan.

3. Keanggotaan berakhir apabila :

a. Menjadi anggota partai politik lain;

b. Mengundurkan diri;

c. Diberhentikan;

d. Meninggal dunia.

4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan 3 pasal ini diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 17
1. Syarat untuk menjadi anggota Partai adalah:

a. Warga Negara Republik Indonesia yang telah berumur 17 tahun atau sudah pernah kawin;

b. Menyetujui dan menaati Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Keputusan Partai;

c. Bersedia menaati dan menegakkan Disiplin Partai;

d. Bersedia mengikuti kegiatan Partai.

2. Calon anggota harus menyatakan kesediaannya untuk menjadi anggota secara tertulis dan memenuhi persyaratan sesuai ayat 1 pasal ini yang disampaikan kepada Pengurus Partai yang berwenang.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan dan jajaran kepengurusan Partai yang menangani keanggotaan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Bagian Keenam

Rapat-Rapat Partai

Pasal 18
Rapat-Rapat Partai tersusun dalam urutan jenjang/hirarki :

1) Kongres Partai;

2) Rapat Dewan Pimpinan Pusat Partai;

3) Rapat Koordinasi Umum;

4) Rapat Koordinasi Wilayah;

5) Rapat Koordinasi Bidang;

6) Rapat Alat Kelengkapan Partai;

7) Konferensi Daerah Partai;

8) Rapat Dewan Pimpinan Daerah Partai;

9) Konferensi Cabang Partai;

10) Rapat Dewan Pimpinan Cabang Partai;

11) Musyawarah Anak Cabang Partai;

12) Rapat Pengurus Anak Cabang Partai;

13) Musyawarah Ranting Partai;

14) Rapat Pengurus Ranting Partai;

15) Rapat Anggota Anak Ranting Partai;

16) Rapat Pengurus Anak Ranting Partai.


Pasal 19
Pengambilan Keputusan

1. Keputusan Sidang/Rapat Partai di semua tingkatan pada dasarnya dilaksanakan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila dalam hal pengambilan keputusan tidak mencapai mufakat, maka keputusan diambil berdasarkan pemungutan suara terbanyak.

2. Pengambilan keputusan yang menyangkut orang dilakukan secara tertutup, sedangkan pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan dapat dilakukan secara terbuka.


Pasal 20
Kongres
1. Kongres Partai adalah lembaga pemegang kekuasaan tertinggi dalam Partai.

2. Kongres Partai diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun.

3. Kongres Partai mempunyai wewenang:

a. Mengubah/menyempurnakan, mengesahkan, dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai;

b. Mengesahkan dan menetapkan Program Partai;

c. Menilai pertanggungjawaban Dewan Pimpinan Pusat Partai;

d. Menetapkan Dewan Pimpinan Pusat Partai;

e. Menilai dan melakukan rehabilitasi anggota Partai yang terkena sanksi pemecatan;

f. Membuat dan menetapkan keputusan lainnya.

4. Dalam keadaan mendesak, dapat dilangsungkan Kongres Luar Biasa.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Kongres diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 21
Rapat Dewan Pimpinan Pusat Partai

1. Rapat DPP Partai dilaksanakan oleh DPP dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya lebih dari setengah jumlah anggota DPP.

2. Rapat Kerja Nasional adalah rapat DPP yang diperluas dan dihadiri oleh anggota DPP, Alat Kelengkapan Partai tingkat Nasional, unsur DPD Partai, dan unsur Partai lainnya.

3. Rapat DPP Partai selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 22
Rapat Koordinasi Umum

1. Rapat Koordinasi Umum adalah rapat koordinasi Dewan Pimpinan Partai dengan utusan Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Fungsional, dan Organisasi Profesi yang seasas dan/atau yang seaspirasi, serta dihadiri oleh kader partai yang menjabat struktural dalam Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Fungsional, dan Organisasi Profesi sesuai dengan tingkatannya.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Rapat Koordinasi Umum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 23
Rapat Koordinasi Wilayah Partai

1. Rapat Koordinasi Wilayah Partai adalah rapat unsur DPP Partai, dan unsur DPD Partai atau unsur DPC Partai yang membidangi wilayah tertentu dengan pimpinan kepengurusan di wilayahnya untuk mengoordinasikan langkah-langkah pelaksanaan tugas Partai.

2. Ketentuan mengenai pelaksanaan Rapat Koordinasi Wilayah Partai selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 24
Konferensi Daerah Partai

1. Konferensi Daerah Partai adalah lembaga pemegang kekuasaan tertinggi Partai di tingkat provinsi.

2. Konferensi Daerah Partai diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun.

3. Konferensi Daerah Partai mempunyai wewenang:

a. Menilai laporan pertanggungjawaban DPD Partai;

b. Menghimpun, merumuskan dan mengoordinasikan program kerja Partai di wilayah provinsi bersangkutan;

c. Memilih DPD Partai.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Konferensi Daerah Partai diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 25
Rapat Dewan Pimpinan Daerah Partai

1. Rapat DPD Partai dilaksanakan oleh DPD Partai dan dihadiri oleh sekurang-kurangnya lebih dari setengah jumlah anggota DPD Partai.

2. Rapat Kerja Daerah Partai adalah rapat DPD Partai yang diperluas dan dilaksanakan oleh DPD Partai serta dihadiri oleh anggota DPD Partai, Alat Kelengkapan Partai tingkat Daerah, unsur DPC Partai, dan unsur Partai lainnya.

3. Rapat DPD Partai selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 26
Konferensi Cabang Partai

1. Konferensi Cabang Partai adalah lembaga pemegang kekuasaan tertinggi Partai di tingkat Cabang.

2. Konferensi Cabang Partai diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun.

3. Konferensi Cabang Partai mempunyai wewenang:

a. Menilai laporan pertanggungjawaban DPC Partai;

b. Menghimpun, merumuskan, dan mengoordinasikan program kerja Partai di tingkat Cabang;

c. Memilih DPC Partai.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Konferensi Cabang Partai diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 27
Rapat Dewan Pimpinan Cabang Partai

1. Rapat DPC Partai dihadiri oleh sekurang-kurangnya lebih dari setengah jumlah anggota DPC Partai.

2. Rapat Kerja Cabang Partai adalah rapat DPC Partai yang diperluas dan dilaksanakan oleh DPC Partai serta dihadiri oleh seluruh anggota DPC Partai, Alat Kelengkapan Partai tingkat Cabang, unsur Pengurus Anak Cabang Partai, dan unsur Partai lainnya.

3. Rapat DPC Partai selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 28
Musyawarah Anak Cabang Partai

1. Musyawarah Anak Cabang Partai merupakan forum tertinggi Partai di tingkat Anak Cabang Partai.

2. Musyawarah Anak Cabang Partai diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun untuk memilih Pengurus Anak Cabang Partai.

3. Ketentuan mengenai pelaksanaan Musyawarah Anak Cabang selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 29
Rapat Pengurus Anak Cabang Partai

Rapat Pengurus Anak Cabang Partai dilaksanakan oleh Pengurus Anak Cabang Partai untuk menjabarkan pelaksanaan Tugas Partai di tingkat Anak Cabang Partai.


Pasal 30
Musyawarah Ranting

1. Musyawarah Ranting merupakan forum tertinggi Partai di tingkat Ranting Partai.

2. Musyawarah Ranting diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun untuk memilih Pengurus Ranting Partai.

3. Ketentuan mengenai pelaksanaan Musyawarah Ranting Partai selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.


Pasal 31
Rapat Pengurus Ranting Partai

Rapat Pengurus Ranting Partai dilaksanakan oleh Pengurus Ranting Partai untuk menjabarkan pelaksanaan tugas Partai di tingkat Ranting Partai.


Pasal 32
Rapat Anggota Anak Ranting dan Rapat Pengurus Anak Ranting Partai

1. Rapat Anggota Anak Ranting Partai merupakan forum tertinggi Partai di tingkat Anak Ranting Partai.

2. Rapat Anggota Anak Ranting Partai diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun untuk memilih Pengurus Anak Ranting Partai.

3. Rapat Pengurus Anak Ranting Partai dilaksanakan oleh Pengurus Anak Ranting Partai untuk menjabarkan pelaksanaan tugas Partai di tingkat Anak Ranting Partai.

4. Ketentuan mengenai pelaksanaan Rapat Anggota Anak Ranting Partai dan Rapat Pengurus Anak Ranting Partai selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Bagian Ketujuh
Jenjang/Hirarki Peraturan Partai


Pasal 33
Peraturan Partai yang bersifat mengatur disusun dengan urutan jenjang/hirarki:

1) Anggaran Dasar;

2) Anggaran Rumah Tangga;

3) Keputusan Kongres Partai;

4) Peraturan Partai;

5) Keputusan DPP Partai;

6) Instruksi DPP Partai;

7) Keputusan Konferensi Daerah Partai;

8) Keputusan DPD Partai;

9) Keputusan Konferensi Cabang Partai;

10) Keputusan DPC Partai.

11) Keputusan Musyawarah Anak Cabang Partai;

12) Keputusan Pengurus Anak Cabang Partai;

13) Keputusan Musyawarah Ranting Partai;

14) Keputusan Pengurus Ranting Partai.


Pasal 34
Peraturan Partai yang bersifat menetapkan disusun dengan urutan jenjang/hirarki:

1) Anggaran Dasar;

2) Anggaran Rumah Tangga;

3) Ketetapan Kongres Partai;

4) Ketetapan DPP Partai;

5) Ketetapan Konferensi Daerah Partai;

6) Ketetapan DPP Partai

7) Ketetapan Konferensi Cabang Partai;

8) Ketetapan DPC Partai;

9) Ketetapan Musyawarah Anak Cabang Partai;

10) Ketetapan Pengurus Anak Cabang Partai;

11) Ketetapan Musyawarah Ranting Partai;

12) Ketetapan Pengurus Ranting Partai.

Pasal 35
1. Ketetapan/Keputusan Partai yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Ketetapan/Keputusan Partai yang lebih tinggi.

2. Ketetapan/Keputusan yang bertentangan dengan Ketetapan/Keputusan yang lebih tinggi dinyatakan tidak sah oleh kepengurusan satu tingkat di atasnya dan dinyatakan tidak berlaku.

3. Ketetapan Partai bersifat lebih konstan dan yang tidak terpengaruh oleh dinamika internal maupun eksternal dan diatur dalam Peraturan Partai.

4. Keputusan Partai dan Instruksi Partai bersifat temporer, dapat berubah yang disesuaikan dengan kebutuhan dinamika yang dihadapi pengurus Partai pada tingkatannya dan diatur dalam Peraturan Partai;


Pasal 36
1. Setiap tingkat kepengurusan Partai, harus melaksanakan Keputusan/Ketetapan Partai yang di atasnya.

2. Kepengurusan Partai yang tidak menaati atau menentang Keputusan/Ketetapan Partai di atasnya dikenai sanksi yang diatur dalam Peraturan Partai.


Bagian Kedelapan

Keuangan dan Perbendaharaan Partai


Pasal 37
1. Harta kekayaan Partai terdiri dari :

a. Harta bergerak,

b. Harta tidak bergerak.

2. Harta kekayaan Partai diperoleh dari:

Uang pangkal dan iuran anggota Partai,
Sumbangan yang tidak mengikat,
Pendapatan lain yang sah.

Pasal 38
1. Pengelolaan harta kekayaan Partai diutamakan guna pencapaian tujuan Partai.

2. Pengelolaan semua harta kekayaan Partai dilakukan oleh Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Pusat dan dipertanggungjawabkan secara berkala di dalam Rakernas.

3. Pengelolaan semua harta kekayaan Partai di semua tingkatan dilakukan oleh kepengurusan Partai di tingkat masing-masing.

4. Ketentuan mengenai iuran anggota diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB V
LAMBANG, BENDERA, MARS dan HYMNE

Pasal 39
1. Partai mempunyai Lambang yang ditetapkan oleh Kongres.

2. Partai mempunyai Bendera yang ditetapkan oleh Kongres.

3. Partai mempunyai Mars dan Hymne yang ditetapkan oleh Kongres.

4. Bentuk, ukuran dan tata cara penggunaan Lambang, Bendera, Mars dan Hymne Partai diatur dalam Peraturan Partai.

BAB VI
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 40
Dalam hal diperlukan pengambilan keputusan untuk mempertahankan: Eksistensi Partai, Pancasila, Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka kepada Ketua Umum diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengambil tindakan strategis organisatoris yang diperlukan.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN dan PERUBAHAN

Pasal 41
1. Masa jabatan/pengabdian kepengurusan untuk Daerah dan/atau Cabang yang baru terbentuk akibat pemekaran wilayah sesudah Kongres II, masa jabatan/ pengabdiannya berakhir pada tahun pelaksanaan Kongres III.

2. DPP Partai membuat Peraturan Partai untuk pelaksanaan ayat 1 pasal ini.

Pasal 42
Semua tingkatan kepengurusan Partai harus sudah terbentuk menurut ketentuan dalam Anggaran Dasar ini pada tahun 2005.

Pasal 43
Pembentukan tingkat kepengurusan Partai setelah Kongres II, pelaksanaannya dimulai dari kepengurusan tingkat Daerah berjenjang ke bawah sampai terbentuknya Pengurus Anak Ranting Partai dan pembentukan kepengurusan Partai menjelang Kongres III dimulai dari kepengurusan tingkat Anak Ranting berjenjang keatas sampai dengan tingkat Pusat melalui Kongres III.

Pasal 44
Perubahan

1. Asas, Jati Diri, dan Tujuan Partai hanya dapat diubah oleh ketetapan Kongres yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya empat perlima jumlah Cabang Partai dan disetujui oleh sekurang-kurangnya empat perlima jumlah utusan Kongres yang hadir.

2. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai hanya dapat dilakukan dalam Kongres Partai dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara utusan yang hadir.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP



Pasal 45
Penutup

1. Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini akan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga dan Peraturan Partai yang tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar.

2. Apabila terdapat perbedaan tafsir mengenai suatu ketentuan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, tafsir yang sah adalah yang ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai.

3. Anggaran Dasar ini mulai berlaku sejak saat disahkan dan ditetapkan dalam Kongres.

Jumat, Maret 14, 2008

IDEOLOGI PARTAI

IDEOLOGI PARTAI

PANCASILA I JUNI 1945


* Kebangsaan Indonesia
* Internasionalisme atau Perikemanusiaan
* Mufakat, Perwakilan, Permusyawaratan atau Demokrasi
* Kesejahteraan, Keadilan Sosial (socialerecht vaardigheit)
* Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa


PEMBAHASAN SILA-SILA DALAM PANCASILA I JUNI 1945

1. KEBANGSAAN INDONESIA
Yang dibangun adalah Nationale Staat Negara bangsa, semua buat semua
Kebangsaan Indonesia Emoh : Kosmopolitan, Chauvisme, Sukuisme
Kebangsaan Indonesia dibangun berdasarkan atas Bhineka Tunggal Ika
Apakah Bangsa itu ?
Ernest Renan :
“Le desir d’etre ensemble”
Otto Bauer :
“Eine Aus Schiksals Gemeinschafterwachsene Character Gemeinschaft” (Persatuan perangai karena persatuan nasib)
Geopolik :
Persatuan antar manusia dan tempat

Kebangsaan atau Nasionalisme Indonesia Pro
Persatuan Bangsa-Bangsa (Keluarga Bangsa
yang sederajat

2. INTERNASIONALISME ATAU PERIKEMANUSIAAN
Internasionalisme berakar pada kebangsaan / negara bangsa
Internasionalisme bukan kosmopolitanisme
Internasionalisme hidup di atas bumi kebangsaan / nasionalisme
Nasionalisme hidup dalam tamansari Internasionalisme

3. MUFAKAT, PERWAKILAN, PERMUSYAWARATAN ATAU DEMOKRASI
Cara untuk memperjuangan ide, konsep didalam Badan Perwakilan Rakyat. Kuatnya negara Indonesia adalah lewat permusyawaratan, mufakat dan perwakilan.
Perjuangan sehebat-hebatnya untuk membahas:
a. Hal yang belum memuaskan
b. Berbagai macam tuntutan
C. Berbagai usaha perbaikan
Dilakukan lewat wakil-wakil yang ada di Dewan (Badan Perwakilan)
Pergolakan di Dewan menandakan kehidupan bernegara.

4, KESEJAHTERAAN, KEADILAN SOSIAL
(SOCIALERECHT VAARDIGHEIT)

a. Kesejahteraan rakyat-Sociale rechtvaardigheid
b. Economische democratie
c. Kritik Bung Karno terhadap demokrasi barat yang melahirkankapitalisme yang merajalela karena :
1. Tiadanya Sociale rechtvaardigheid,
2. Tiadanya Economische democratie yang ada cuma politieke democratie
d. Ingat ungkapan JEAN JAURES ”hak politikkaum buruh sama dengan yang lain, bahkan dapat menjatuhkan Perdana Menteri. Tetapi di pabrik sewaktu-waktu dapat dipecat sang majikan menjadi gelandangan”
e. Dasarnya haruslah:
1. Politieke democratie
2. Economische democratie
3. Sociale rechtvaardigheid

5. BERTAQWA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA
a. Bangsa Indonesia haruslah bangsa yang ber- Tuhan
b. Masing-masing orang Indonesia berTuhan Tuhannya sendiri
c. Negara Indonesia satu negara yang Ber Tuhan
d. Segenap rakyat Indonesia Bertuhan secara kebudayaan, berketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain, tiada egoisme agama.

Rabu, Maret 12, 2008

HASTA PRASETYA KADER PDI PERJUANGAN



HASTA PRASETYA KADER PDI PERJUANGAN


Kami Kader PDI Perjuangan yang bertugas di Lembaga Eksekutif dan Legislatif, adalah Patriot Indonesia yang berdiri di Garda terdepan dalam usaha memajukan kehidupan Bangsa.
Atas Dasar amanat Kongres Partai dan Garis Perjuangan Partai, kami menyatakan Tekad untuk melaksanakan Hasta Prasetya Perjuangan :

1. Menegakkan NKRI, Pancasila dan UUD 1945

2. Membebaskan biaya berobat bagi rakyat sesuai kemampuan keuangan daerah

3. Membebaskan biaya pendidikan bagi rakyat sesuai kemampuan keuangan daerah

4. Memperkuat perekonomian rakyat melalui penataan sistem produksi, reformasi agraria, pemberian
proteksi, perluasan akses pasar dan permodalan

5. Memperkokoh kegotong royongan rakyat dalam memecahkan masalah bersama

6. Mereformasi birokrasi pemerintahan dalam rangka membangun tata pemerintahan yang baik, bebas dari KKN

7. Memberikan layanan umum secara pasti, sehat dan murah

8. Menyediakan perumahan yang sehat dan layak bagi rakyat




..... Hasta prastya Perjuangan adalah program kerja yang bersumber dari kebutuhan Rakyat, sebab Hasta Prasetya Perjuangan merupakan kristalisasi dari kebutuhan Rakyat yang digodog melalui proses diskusi serta pemikiran yang panjang dan dipadukan dengan pengalaman lapangan dari kader-kader PDI Perjuangan. Butir-butir yang terdapat dalam Hasta Prasetya merupakan kesatuan antara teori dan praktek perjuangan yang berpihak bagi Rakyat.

Namun demikian, pelaksanaan Hasta Prasetya Perjuangan dalam tindakan tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Sangat diperlukan kerja keras dan solidaritas Tiga Pilar Partai dalam mewujudkan Hasta Prasetya Perjuangan sebagai Program Partai untuk Rakyat. Mewujudkan sinergi menjadi hal yang penting dalam proses "MEMBUMIKAN HASTA PRASETYA PERJUANGAN" bagi rakyat. .........

Senin, Maret 10, 2008

SEJARAH KEPARTAIAN DI INDONESIA

PDI PERJUANGAN DAN SEJARAH KEPARTAIAN DI INDONESIA

PARTAI DAN PARLEMEN DI ERAKOLONIALISME BELANDA :
JALAN BARU MENUJU KEMERDEKAAN


Metode dan strategi perjuangan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka mengalami perubahan luar biasa pada awal abad 20. Perubahan ini ditandai dengan dimulainya pemanfaatan “organisasi modern” sebagai sarana baru menggantikan sarana-sarana lama seperti “gerakan ratu adil” yang berpusat pada diri dan kharisma seorang pemimpin.
Pada tahun 1908 berdiri Boedi Oetomo. Sekalipun masih berbasis pada priyayi Jawa (1914 resmi menjadi organisasi para bangsawan), BO merupakan lembaga pertama yang menggunakan cara-cara dan metode modern dalam perjuangannya. Organisasi kedua yang sangat penting adalah Sarekat dagang Islam (SDI) yang dipimpin H. Samanhoedi. Awalnya SDI hanya sekadar organisasi ronda malam Rekso Roemekso – sebagai reaksi perlawanan terhadap kehadiran Kong Sing, sebuah “kelompok tolong menolong” milik pedagang Cina (sementara pedagang Arab memiliki Djamiat Akhir -- yang bertugas memastikan kelancaran perdagangan Batik di Lawean). Rekso Roemekso kemudian berkembang menjadi SDI (1911), untuk kemudian SI (1912) dengan Tjokroaminoto sebagai figur utama. SI merupakan organisasi politik pribumi pertama yang memiliki ribuan anggota di afdeling-afdeling di kota-kota utama di Jawa. SI telah mengenal metode pengorganisasian modern seperti: teknik pengumpulan massa, penggunaan media (Medan Prijaji pimpinan Tirtoadisoerjo), dan yang paling penting adalah pengenalan terhadap metode boycott.
Selepas itu, berturut-turut muncul parpol antara tahun 1912 hingga 1937, antara lain:
(1) Indische Partij (Desember 1912) – partai modern
pertama yang tegas memperjuangkan “Hindia bagi orang
Hindia”,
(2) ISDV (Indische Sosial Democratishe Vereninging, Mei
1914),
(3) Indische Katholike Partij (November 1918),
(4) PKI (Mei 1920),
(5) PNI (Juli 1924),
(6) Partai Indonesia (April 1931),
(7) Partai Rakyat Indonesia (September 1930),
(8) Parindra (Januari 1931),
(9) Gerindo (Mei 1937).

Partai-partai di atas sekaligus mencerminkan ragam ideologi utama yang berkembang saat itu, yakni Islam, Kristen, Nasionalis, Sosialis, dan Komunis yang hingga kini bertahan sebagai “aliran-aliran politik”. Kemunculan ideologi sebagai nilai modern dalam perjuangan mewujudkan Indonesia merdeka yang mendapatkan wadahnya dalam bentuk partai, sangat penting untuk dipahami. Di satu sisi ia menegaskan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sangat majemuk, tapi di sisi yang menunjukan keberagaman kekuatan yang memfasilitasi terwujudnya Indonesia merdeka. Pelajaran penting yang dapat dipetik adalah bahwa Indonesia tidak pernah dibangun di atas satu fondasi atau kaki ideologi yang tunggal. Indonesia membutuhkan sinergi dari berbagai kekuatan yang ada untuk bisa mewujudkan kemerdekaannya. Dalam konteks ini, tulisan awal Bung Karno yang coba “mendamaikan” tiga ideologi besar, yakni Islam, Marxisme dan Nasionalisme merupakan pekerjaan intelektual dan politik yang sangat berharga.
Antar tahun-tahun awal pembentukan parpol di era ini, suasana global sedang mengalami perubahan-perubahan besar. “Nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk gerakan anti kolonialisme dan imperialisme dan “demokrasi” yang diwujudkan dalam gerakan anti feodalisme menjadi dua kekuatan kekuatan pokok yang mendinamisir perubahan-perubahan besar di atas. Kemenangan Jepang atas Rusia (1905), Revolusi Kwang Zu, yakni gerakan nasionalis di Cina (di Indonesia muncul dalam wujud Tiong Hwa Hwee Koan), Gerakan Turki Muda (1880 – 1913), Perang Boer di Afsel, kembalinya tokoh-tokoh yang belajar agama di Tim-Teng dan pulangnya pemuda-pemuda Indonesia (Syahrir, Hatta, Agus Salim, misalnya) sangat penting dalam menjelaskan muncul partai-partai di Indonesia. Sementara itu, revolusi Februari 1848 – berakhir dengan lahirnya Grondwet, UUD yang mengarah pada semangat penghancuran monarkhi, kemenangan Kelompok Liberal di parlemen Belanda yang diikuti perluasan peran swasta di Hindia Belanda, pelaksanaan politik Etis –pendidikan, emigrasi, edukasi– (akhir abad 19 dan awal abad 20) menjadi kekuatan-kekuatan penting yang memungkinkan maraknya parpol di Indonesia.
Pada periode yang sama, muncul pula tuntutan yang kuat bagi pembentukan Dewan Rakyat (Volksraad) di Hindia Belanda sebagai manifestasi dari prinsip kedaulatan rakyat. Akhirnya Voksraad dibentuk (sekalipun sebagian anggotanya diangkat tanpa mekanisme pemilihan dan sekalipun pemilihan hanya dibatasi pada warga Belanda) dengan komposisi keanggotaan 15 Bumi Putra dan 23 Eropa/Timur Asing. Dari 38 anggota 19 orang diangkat dan 19 dipilih.


PARTAI DAN PARLEMEN HINGGA RUNTUHNYA ORBA :
PERJALANAN MENCARI BENTUK


Pada awal kemerdekaan Indonesia kehadiran parpol terkait dengan keluarnya Maklumat Wakil Prsiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 mengenai Pembentukan KNIP yang diikuti oleh Manifesto Politik Pemerintah 3 November 1945 yang merubah sistem pemerintahan dari Presidential ke Parlementarian dan sekaligus mendorong pembentukan parpol. Tidak kurang dari 10 parpol yang terbentuk antara kurun waktu November 1945 dan Januari 1946 yaitu Masyumi, PKI, PBI, Partai Rakyat Jelata, Parkindo, PSI, Partai Rakyat Sosialis, PKRI (Partai Katolik RI), Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, Permai, dan PNI (sebagai fusi dari Partai Rakyat Indonesia, Gerakan Republik Indonesia, Serikat Rakyat Indonesia). Jumlah partai terus bertambah dengan keluarnya NU dari Masyumi tahun 1952 dan munculnya partai-parati lain, termasuk IPKI yang didirikan oleh Nasution pada tahun 1954, hingga mencapai puncak pada Pemilu 1955.
Partai-partai di atas, seperti juga periode sebelumnya mendasarkan diri pada ragam ideologi yang berbeda. Perbedaan yang sangat penting dengan parpol-parpol sebelumnya adalah orientasi atau arah perjuangan masing-masingnya tidak lagi bersifat keluar, yakni perjuangan mewujudkan kemerdekaan atau melawan imperialisme dan kolonialisme, tetapi lebih ke dalam, berupa perjuangan untuk meraih kekuasaan politik negara.
Implikasi yang timbul sebagai akibat dari banyaknya partai, adalah banyaknya ragam ideologi dan terjadinya perubahan orientasi atau arah perjuangan partai-partai. Salah satu yang terpenting antaranya adalah terjadinya instabilitas pemerintahan yang ditunjukkan dengan sangat jelas dari jatuh bangunnya kabinet dalam waktu sangat singkat. Tidak kurang dari 25 kabinet yang terbentuk selama periode sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan usia antara 1 s/d 23 bulan.
Parpol-parpol sendiri menyadari peran negatif mereka bagi stabilitas sistem politik dan pemerintahan, tetapi tampaknya sangat terlambat. Baru pada 12 Desember 1964 lewat pertemuan mereka di Bogor mampu menghasilkan “Deklarasi Bogor” yang mengungkapkan kesadaran mereka untuk memupuk “persatuan nasional yang progresif-revolusioner berporoskan Nasakom.” Deklarasi juga menegaskan bahwa masing-masing parpol tidak diperbolehkan menginterpretasikan ajaran atau keyakinan golongan lain dan agar setiap persoalan diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat. Tetapi tampaknya, Deklarasi Bogor tidak pernah bisa efektif dalam membendung sengketa berkepanjangan lintas parpol. Inilah salah satu alasan yang nantinya dipakai Orba untuk melakukan langkah pembengarusan secara total parpol seperti tercermin dari tulisan Ali Murtopo, salah satu pembantu utama Soeharto di era ini.
Masa keemasan partai-partai mengalami periode surut setelah keluarnya Dekit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit ini merupakan jalan keluar dari kemelut di Konstituante yang gagal mencapai kata sepakat mengenai Dasar Negara. Konstituante adalah hasil pemilu 1955 yang oleh banyak kalangan disebutkan sebagai pemilu paling demokratis. Hasil Pemilu 1955 melahirkan konfigurasi ideologis antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dan Islam sebagai dasar negara. Dari 544 anggota Konstituante yang berasal dari 34 Parpol, pendukung Pancasila adalah 274, Islam 230, dan pendukung gagasan ideologi “sosial-ekonomi” 10. Di samping sebagai respons atas kegagalan Konstituante, Dekrit ini sendiri mencerminkan kekecewaan yang luas mengenai perilaku parpol selama periode Demokrasi Liberal (1945 –1957). Kekecewaan ini terungkap dengan baik dalam tulisan Bung Karno dan Bung Hatta pada tahun-tahun ini.
Selepas Dekrit, Bung Karno mulai mengambil langkah-langkah penting ke arah penataan parpol. Pada tahun 1959 dikeluarkan Penpres No. 7 yang mengatur mengenai syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian. Hal ini diikuti oleh keluarnya Penpres No. 13 yang mengatur pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. PSI dan Masyumi karena keterlibatan sejumlah tokoh utamanya dalam pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan melalui Kepres 128/61. Sementara diberi pengakuan terhadap 8 parpol, masing-masing PNI, NU, Partai Katolik, Partai Indonesia, Murba, PSII, IP-KI dan PKI. Dan melalui Kepres 440/61 diakui Parkindo dan Perti. Sedangkan melalui Kepres 129/61 partai PSSI Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo tidak diakui.
Pada 14 April 1961 pemerintah mengeluarkan pengumuman yang hanya mengakui adanya 10 parpol, masing-masing PNI, NU, PKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, Murba, dan IPKI. Di antara partai-partai, hanya PKI yang dapat efektif menjalankan fungsinya sebagai parpol selama periode ini karena digunakan Bung Karno sebagai kekuatan penyeimbang AD yang sudah menjadi kekuatan politik yang utama.
Perubahan kepartaian dan diperkenalkannya golongan fungsional diikuti oleh terjadinya perubahan konstelasi politik. Parpol-parpol mengalami masa surut yang serius, sementara parlemen mengalami disfungsi. Perubahan parlemen terpenting terjadi ketika Bung Karno membubarkan parlemen pada 5 Maret 1960 karena adanya penolakan parlemen atas rencana anggaran yang dajukan pemerintah. Hal ini diikuti oleh rencana pendirian DPR-GR yang sesuai dengan konstruksi UUD 45 dimana sebagian anggotanya adalah golongan fungsional. DPR-GR akhirnya dibentuk pada Juli 1960 terlepas dari adanya penentangan sejumlah parpol dan tokoh yang membentuk “liga demokrasi”. Liga ini terdiri dari partai Katolik, Masyumi, PSI dan IPKI yang mendapatkan dukungan dari TNI AD, Bung Hatta, dan sejumlah tokoh NU dan PNI. DPR-GR beranggotakan 263 orang dimana 132nya berasal dari golongan fungsional (7 wakil AD, 7 wakil AU dan AL, 5 polisi dan selebihnya dari organisasi seperti Sobsi, Gerwani, BTI, Sarpubri, Pemuda rakyat, dan sebagainya).
Sekalipun langkah menyederhanaan partai dan pengurangan peran parpol (diwujudkan dalam bentuk masuknya golongan fungsional di lembaga perwakilan) telah dilakukan Bung Karno, ternyata belum cukup ringkas untuk dapat mengelola kemajemukan ideologi dan politik Indonesia. Alfian, salah seorang ilmuwan politik terkemuka pada tahun 1980-an menegaskan bahwa salah satu sebab kegagalan Demokrasi Terpimpin (1959–1965) adalah kegagalan Bung Karno dalam mewujudkan penyederhanaan parpol. Memasuki era Orba kehidupan kepartaian dan parlemen mengalami masa yang paling sulit. Berangkat dari pengalaman konflik berkepanjangan masa lalu, diikuti oleh adanya kebutuhan Orba untuk memonopoli dukungan politik masyarakat, langkah-langkah politik penting dilakukan. Pengaturan kepartaian periode ini dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik dan sekaligus dukungan yang kuat bagi pemerintah guna pertumbuhan ekonomi.
Orba memulai penataan kepartaian dengan rehabilitasi Murba dan didirikannya Parmusi sebagai wadah peleburan ormas-ormas Islam sambil menolak tuntutan Masyumi. Pada saat yang bersamaan membentuk Golkar sebagai mesin politik rejim. Penggunaan nama Golkar sendiri penting karena pemerintah berusaha untuk menghindari penggunaan kata “parpol” guna membenarkan diri sendiri bahwa kekuatan ini tidak terlibat dan tidak bertanggung-jawab atas instabilitas politik di masa lalu.
Landasan legal bagi penataan kepartaian juga disiapkan, yakni melalui Tap MPRS XII/MPRS/66 tentang Kepartaian. Dalam Tap ini disebutkan agar pemerintah bersama DPR-GR segera membentuk UU mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.
Inti utama dari penataan kepartaian terletak pada, mengutip Ali Murtopo, “perombakan sikap dan pola kerja menuju orientasi pada program”. Dengan kata lain, “de-ideologisasi” merupakan inti utama dari penataan kepartaian. Langkah awal Orba adalah berupa pelarangan penggunaan ideologi oleh parpol, kecuali dalam bentuk azas ciri yang mencapai puncaknya dengan penerapan “asas tunggal Pancasila” yang ditafsirkan menurut kepentingan kekuasaan Orba (dalam UU 3/1982 disebutkan “partai politik dan Golongan Karya berazaskan Pancasila sebagai satu-satunya azas”) dan diindoktrinasi ke dalam masyarakat melalui program penataran P4 yang bersifat masif dan menghukum. Implikasinya sangat serius, terutama bagi PNI yang sarat ideologis karena membenturkan Marhaenisme dan Pancasila sebagai dua hal yang bertentangan yang melahirkan banyak persoalan politik dan psiko-politik di dalam PNI.
Inti kedua penataan kepartaian selama Orba adalah penyederhanaan kepartaian dari 10 menjadi 3, yakni Golkar, PDI dan PPP. Dua partai terakhir merupakan hasil fusi yang dipaksakan setelah melalui proses selama kurang lebih 3 tahun, baik di balik layar maupun di parlemen. PDI berfusi pada 10 Januari 1973 sementara PPP pada 5 Januari 1973 setelah adanya “ancaman pembubaran” oleh Soeharto sebelum 11 Maret 1973.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa fusi memang mampu mengurangi konflik dan pertentangan politik di tingkat pemerintahan dan sistem politik. Tetapi pada prinsipnya hanya merupakan pengalihan dari konflik politik nasional di masa lalu menjadi konflik dalam tubuh parpol. Jika pola konflik PPP dan PDI selama periode Orba diperhatikan, pada prinsipnya merupakan miniatur dari konlik politik nasional di masa lalu.
Inti ketiga dari penataan kepartaian adalah pengisolasian atau pemutusan hubungan antara partai dan para pendukungnya. Hal ini dilakukan melalui konsep “massa mengambang” dimana kepengurusan parpol –dalam prakteknya hanya berlaku bagi PPP dan PDI– dilarang untuk berada di bawah kabupaten. Dengan format seperti ini yang terjadinya bukanlah “massa mengambang”, tapi justru “parpol (PDI dan PPP) mengambang”. Isolasi juga dilakukan terhadap pegawai negeri lewat pembentukan Kokar Mendagri dan diperkenalkannya konsep monoloyalitas yang intinya melarang PNS terlibat dalam parpol, tapi sepenuhnya memberikan dukungan pada Golkar.
Perubahan-perubahan ini membuat parpol, terutama yang berbasiskan masyarakat bawah dan birokrasi, PNI misalnya, mengalami kebangkrutan secara total. Karena terputusnya akses dan komunikasi kedua basis utama parpol.
Keterpurukan parpol semakin dalam karena UU yang baru mengatur secara sangat ketat kehidupan parpol dan memberikan kewenangan yang sangat besar pada presiden. Parpol diwajibkan melaksanakan, mengamalkan dan mengamankan Pancasila (Ps 7 (a)) serta dikenakan berbagai larangan (Ps 12). Sementara Presiden diberi hak untuk “membekukan” pengurus parpol/Golkar. Dengan ini landasan legal bagi tindakan-tindakan legal tersedia dengan sangat kuat.
Penataan secara legal di atas masih diikuti oleh langkah-langkah politik yang intinya mengkerdilkan parpol dari waktu ke waktu. Intervensi, adu domba, represi, manipulasi, dan bahkan kekerasan dialami oleh aktivis partai selama ini yang dilakukan baik oleh jajaran militer maupun birokrasi sipil, terutama selama pemilu dan pada saat pelaksanaan agenda-agenda partai seperti Munas, Kongres, konferda, dan sebagainya. Hasil akhirnya adalah parpol yang kehilangan semua fungsi kecuali sebutannya sebagai parpol. PPP dan PDI, dalam prakteknya selama Orba tidak lebih dari semacam anak cabang atau ranting dari pemerintah yang jauh dari fungsinya sebagai agregator dan artikulator kepentingan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan parlemen, perubahan-perubahan besar juga terjadi. Sejak awal pengendalian atas parlemen dilakukan Orba melalui pergantian anggota DPR-GR dan MPRS oleh orang-orang yang mendukung kekuatan Orba. Rancangan komposisi keanggotaan parlemen dibuat untuk menjamin kekuatan mayoritas tetap berada di bawah kendali penguasa, sekalipun pemilu secara teratur dilaksanakan. Sebagai contoh, 1/3 plus satu anggota MPR diangkat secara langsung oleh presiden. Dengan ini, pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang penting tidak akan pernah terjadi tanpa Presiden. Lewat rancangan kelembagaan DPR/MPR telah mengantongi lebih dari 1/3 suara. Hal ini semakin diperburuk oleh berbagai kecurangan, intimidasi, dan sebagainya selama pemilu yang menyebabkan PDI dan PPP tidak mungkin mendapatkan suara yang signifikan.

KE ARAH FUSI LIMA PARTAI :
EMBRIO SI ANAK HARAM


PDI yang nantinya menjadi PDI Perjuangan dapat diibaratkan sebagai “anak haram” yang kelahirannya tidak dikehendaki tapi tak terhindarkan. Keharusan bagi Orba untuk membangun citra diri sebagai rejim demokratis mengharuskannya untuk menerima ide tentang parpol. Akibatnya, kehadiran PDI bukannya dalam kerangka untuk merealisasi komitmen bangsa untuk menjadi sebuah sistem politik yang demokratis, tapi justru untuk memenuhi secara simbolik status Indonesia sebagai negara demokratis –karena punya parpol dan parlemen– di mata internasional.
PDI merupakan fusi dari 5 parpol, yakni PNI, Parkindo, Partai katolik, Murba dan IPKI. Kelimanya memiliki latar belakang, basis sosial, ideologi dan sejarah perkembangan yang sangat berbeda.
PNI adalah partai yang dibentuk di Kediri pada 29 januari 1946 yang merupakan fusi dari Serikat Rakyat Indonesia (Serindo), PNI Pati, PNI Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, PNI Palembang, PNI Sulawesi, Partai Republik Indonesia (PRI) Madiun, serta beberapa partai lokal kecil lainnya. Fusi dilakukan ketika diselenggarakannya Kongres Serindo I di Kediri, 29 Januari s/d 1 Pebruari 1946. Partai ini berasaskan Sosio-nasionalisme-demokrasi (Marhaenisme), suatu azas, ideologi, dan cara perjuangan yang dicetuskan Bung Karno yang ditujukan untuk menghapuskan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Penggunaan azas ini mencerminkan keinginan para pendirinya untuk mengasosiasikan diri dengan Bung Karno sebagai pendiri PNI di masa lalu. Massa pendukung PNI terutama adalah kaum abangan, seperti disebut Rocamora, yang memiliki sistem patron-client dan petani non radikalisme. Sumber dukungan pedesaan ini terutama bertumpu pada elit desa (para pamong dan lurah) dan juga birokrasi pemerintahan. Partai ini adalah partai massa –bukan partai kader atau partai program– karenanya massa aksi menjadi salah satu alat politik penting. Tujuan PNI adalah mewujudkan masyarakat sosialis, yakni suatu masyarakat yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial. PNI adalah partai dengan perolehan suara terbanyak pada Pemilu 1955. Karenanya, aturan tak tertulis yang disepakati dalam proses fusi memberikan hak utama kepada tokoh PNI untuk menduduki posisi Ketua Umum PDI.
Parkindo adalah partai kedua terbesar dalam PDI menurut hasil Pemilu 1955. Partai ini didirikan pada 18 November 1945 sevagai respons atas Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Partai ini merupakan fusi dari sejumlah partai Kristen lokal seperti Partai Kristen Indonesia (Parki) di Sumut, Partai Kristen Nasional di Jakarta, Persatuan Masehi Indonesia (PMI), Partai Politik Masehi (PPM) di Pematang Siantar. Partai ini mendasarkan legitimasi dan identitasnya pada agama, yakni Kristen yang merupakan kelompok minoritas permanen dalam konstelasi politik nasional. Paham kekristenan dijadikan sebagai azas partai. Basis dukungan partai ini menyebar di berbagai daerah di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Timor, Minahasa, Toraja, dan sebagainya. Sebagai partai pemenang pemilu kedua terbesar yang bergabung dalam PDI, partai ini diberi hak atas posisi Sekjen dalam struktur PDI.
Partai Katolik dibentuk pada 12 Desember 1945 dengan Partai katolik Republik Indonesia (PKRI) dan merupakan kelanjutan dari Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Pada masa belanda, PPKD –karena kebutuhan siasat politik– bergabung dengan Indische Katholieke Partij. Ketuhanan Yang Mahasa Esa, Pancasila, dan azas kekatolikan ditempatkan sebagai azas partai. Sementara “kemajuan Republik Indonesia dan kesejahteraan rakyat” ditempatkan sebagai tujuan partai. Dukungan sosial partai ini adalah umat Katolik yang menyebar di sejumlah daerah. Partai ini adalah pemenang ketiga terbesar Pemilu 1955 yang berfusi dalam tubuh PDI. Karenanya konsensus dalam proses fusi memberikan “hak” atas jabatan Bendahara bagi parpol ini.
Murba didirikan oleh Tan Malaka pada 3 Oktober 1948 sebagai gabungan dari partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka. Murba sebagai sebuah istilah mengacu pada “golongan rakyat yang terbesar … yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri”. Istilah ini kurang lebih sama dengan istilah proletar, akan tetapi –seperti ditegaskan dalam dokumen Kementrian Penerangan– memiliki sejarah hidup, corak dan musuh yang berbeda dengan proletar. Murba sebagai ideologi berbeda dengan Marhaenisme Bung Karno karena adanya pengakuan Bung karno atas kepemilikan alat-alat produksi oleh kaum marhaen, sekalipun dalam skala yang sangat kecil dan subsisten. Azas Murba adalah anti fasisme, sebuah paham yang dikembangkan oleh Jepang dan Italia sebelum perang Dunia II, anti imperialisme dan kapitalisme. Tujuan partai ini adalah masyarakat sosialis. Dari sudut basis sosial, pendukung Murba sulit diidentifikasi. Murba hanya mendapatkan sedikit dukungan di Jabar dalam Pemilu 1955 dan tidak mendapatkan satu pun kursi.
IPKI dibentuk oleh tokoh-tokoh yang umumnya berasal dari lingkungan TNI. Awalnya partai ini merupakan “kumpulan pemilih” yang berinisiatif untuk menghimpun tenaga-tenaga pejuang kemerdekaan, terutama dari lingkungan TNI AD untuk mempelopori perjuangan rakyat setelah revolusi fisik. IPKI berdiri pada 20 Mei 1954, satu setengah tahun sebelum Pemilu 1955 dan dimotori oleh Nasution yang pada waktu itu berada dalam status “hukuman” oleh Bung Karno sebagai akibat dari “Peristiwa Oktober 52”. Sebuah peristiwa dimana TNI mencoba untuk memaksa Bung Karno –dengan mengarahkan meriam ke istana negara– untuk membubarkan parlemen yang dinilai Nasution dan kawan-kawan mencampuri urusan TNI. Tujuan partai ini adalah mengakhiri dan melenyapkan seluruh penderitaan rakyat, lahir dan batin. Juga memberikan hikmah rohaniah dan jasmaniah kepada seluruh rakyat dengan menjamin keselamatan, ketentraman dan kemakmuran. Dalam dokumen partai disebutkan bahwa IPKI menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan dan pemimpinnya, dan menempatkan diri sebagai “penyambung lidah golongan berkuasa” dan sekaligus “pengabdi rakyat yang jujur dan setia”.
Fusi lima parpol berlangsung pada 10 Januari 1973 yang kini dirayakan sebagai hari ultah PDI Perjuangan. Beberapa fenomena penting sebelum fusi dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Proses ke arah fusi merupakan inisiatif presiden yang diwujudkan dalam bentuk rangkaian konsultasi antara presiden dengan tokoh-tokoh parpol. Konsultasi pertama dilakukan secara kolektif dengan tokoh-tokoh dari 9 parpol pada 7 Januari 1970. Dalam kesempatan ini Presiden melontarkan gagasan pengelompokan parpol ke dalam dua kelompok, masing-masing menekankan pada aspek materiil dan spirituil. Dengannya, akan terbentuk dua kelompok, materiil-spirituil dan spirituil-materiil. Dalam pertemuan ini juga terungkap bahwa ide tersebut berkaitan dengan keinginan Presiden untuk menciptakan stabilitas yang disebutkan sebagai “tanggung-jawab bersama”, terutama untuk meredam konflik menjelang pemilu 1971.
Pertemuan lebih khusus dengan lima parpol yang dianggap sebagai wakil dari “kelompok materiil-spirituil –dilakukan Presiden pada 27 Pebruari 1970– dimana, disamping mengulangi pokok-pokok pikiran pertemuan pertama, juga menegaskan perlunya ada “penyederhanaan cara kerja dan berfikir” dengan mengambil bentuk “up-konfederasi parpol” (idenya adalah tidak ada kepengurusan baru kecuali dalam bentuk “dewan ketua-ketua umum parpol” yang dibantu oleh sebuah “badan pekerja” sebagai brain trust). Dalam perkembangannya, gagasan Presiden melahirkan polarisasi dalam parpol. Ada yang mendukung karena dinilai sebagai “tuntutan obyektif” ataupun sebagai “pilihan taktis”, tapi ada yang menolak. Di antara yang menerima bahkan ada yang siap dengan usulan kongkrit.
Sesaat selepas konsultasi dengan Presiden, berkembang isu yang sangat kencang bahwa Presiden akan membubarkan parpol-parpol sebelum 11 Maret 1970 jika mereka gagal merealisasikan ide Presiden. Sebagai respons atas rumor ini, tokoh-tokoh lima parpol, antara lain, Hardi dan Gde Djaksa (PNI), Akhmad Sukarmadidjaja (IPKI), VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), dan M. Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo) melakukan pertemuan pada 7 Maret 1970 untuk membicarakan “soal-soal sekitar pengelompokan partai-partai”. Pada pertemuan kedua 9 Maret 1970 di tempat yang sama (ruang kerja wakil ketua MPR, Siregar, Jl. Teuku Umar No. 5 Jakarta) dimatangkan draft “Pernyataan Bersama” yang telah disiapkan Hardi dan draft-draft perbaikan dan tambahan yang disiapkan Murba dan IPKI. Untuk itu pertemuan 9 Maret 1970 menyepakati pembentukan Panitia Perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni (PNI), M. Supangat (IPKI), Murbantoko (Murba), Lo Ginting (Partai Katolik), dan Sabam Sirait (Parkindo) yang mampu menyelesaikan rumusannya saat itu juga.
Akhirnya tokoh-tokoh lima parpol mengeluarkan “Pernyataan bersama”, yang dilaporkan pada Presiden pada 12 Maret 1970 (dalam pertemuan ini Presiden menampik adanya rencana pembubaran parpol). Pernyataan Bersama memuat dua hal, yakni:
Kesediaan untuk melakukan kerjasama untuk kepentingan nasional.
Hal-hal yang menyangkut dasar, sifat, pengorganisasian, program kerja, prosedur dan nama kerjasama, akan ditentukan dalam waktu sesingkat-singkatnya

Pada tanggal 24 Maret pertemuan lima tokoh parpol kembali digelar di ruang kerja Siregar. Hadir antara lain, Hardi dan Usep Ranuwidjaja (PNI), M. Siregar, JCT Simorangkir dan Sabam Sirait (Parkindo), VB Da Costa, Lo Ginting dan Duriat (Partai Katolik), Maruto Nitimihardjo (Murba) serta Akhmad Sukarmadidjaja dan Mustafa Supangat (IPKI). Pertemuan ini berusaha memformulasi secara lebih kongkrit butir kedua pernyataan bersama. Soal nama kelompok muncul banyak gagasan, misalnya “Kelompok Demokrasi Kesejahteraan”, “Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan” (usulan partai Katolik), “Kelompok Gotong Royong” (usulan Murba), “Kelompok Pembangunan” (usulan IPKI), “Kelompok Nasionalis (usulan PNI). “Kelompok Demokrasi dan Pembangunan (usulan Parkindo)”. Sedangkan mengenai bentuk dan sifat kerjasama muncul ide mulai dari konfederasi, aliansi, koalisi, liga, ataupun badan kerjasama. Setelah melalui perdebatan melelahkan, akhirnya disepakati nama kelompok adalah “Demokrasi Pembangunan” dalam rangka perwujudan Badan Kerjasama yang isinya konfederasi. Dengan demikian nama resmi yang diberikan adalah Badan Kerja Sama Demokrasi Pembangunan” atau banyak dikenal sebagai “Kelompok Demokrasi Pembangunan”. Pertemuan juga menetapkan dua kontak person kelompok, masing-masing Hardi dan Siregar.
Selama pertemuan tokoh lima parpol, kecemasan akan terjadinya polarisasi politik nasional ke dalam dua kubu muncul sangat kuat. Terjadi silang pendapat bagaimana mengeliminir ini, termasuk gagasan menyertakan salah satu parpol Islam dalam pengelompokan yang ada. Tetapi akhirnya ditemukan jalan keluar, yakni dengan menempatkan “prinsip keterbukaan bagi semua kekuatan sospol dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan nasional” sebagai prinsip dasar pengelompokan. Di samping itu, energi banyak dihabiskan untuk mendiskusikan “bentuk pengelompokan”, yang dimulai dari “bentuk kerjasama ringan” (tawaran dari Hardi) s/d gagasan stembus accoord dalam pemilu 1971 yang diusulkan Siregar.
Menjelang pelantikan anggota DPR, 28 Oktober 1971, Presiden kembali mengundang tokoh-tokoh parpol, termasuk Golkar. Pertemuan berlangsung dua kali, 6 dan 8 Oktober 1971. Agenda pembicaraan menyangkut DPR (pelantikan pembagian fraksi, masalah voting, dan sebagainya). Agenda kedua adalah pengelompokan parpol-parpol dalam rangka penyederhanaan kepartaian di mana presiden menghendaki hanya akan ada “tiga bendera” untuk pemilu 1976. Di antara dua tanggal di atas, yakni 7 Oktober, dilakukan pertemuan tokoh lima parpol di rumah Hasjim Ning (IPKI) di mana Parkindo dan Partai Katolik menyetujui masuknya salah satu partai Islam ke dalam pengelompokan guna menghindari polarisasi nasional. Sementara menyangkut gagasan fraksi, disepakati untuk membentuk “fraksi bersama” yang kemudian disampaikan pada pertemuan 8 Oktober 1971 kepada presiden.
Pada tanggal 25 Oktober 1971 sekali lagi pertemuan antara presiden, perwakilan parpol, Golkar, dan ABRI di DPR terjadi. Fokus pembicaraan diarahkan pada pimpinan DPR, pimpinan fraksi-fraksi dan juru bicara masing-masing. Mengenai pimpinan DPR, parpol mengusulkan agar diberikan pada parpol dengan suara terbanyak, dan secara langsung Soeharto menunjuk Idham Khalid. Sementara mengenai Wakil Ketua DPR, Presiden mengusulkan adanya empat orang mewakili masing-masing fraksi, dan menunjuk nama-nama Irjen (Pol) Domo Pratomo sebagai Wakil Ketua asal Fraksi ABRI, Isnaeni (Kelompok KDP), Sumiskun (Golkar), J. Naro (Kelompok Persatuan Pembangunan). Terjadi penundaan pembicaraan soal ini. Presiden juga menetapkan juru bicara masing-masing fraksi guna memperlancar pemilihan pimpinan, dan dari Kelompok DP ditunjuk tiga orang, Harjantho, Da Costa, dan Tahamata.
Pada tanggal 27 Oktober 1971 atas prakarsa partai yang punya anggota di DPR (IPKI dan Murba tidak mendapat kursi), dilakukan pertemuan di rumah Sunawar Soekowati, di Jl. Sriwijaya 46, Jakarta. Pertemuan ini menghasilkan sebuah dokumen “Pernyataan Bersama” yang ditujukan kepada Ketua Sementara DPR tentang tiga hal:
Terbentuknya Fraksi Kelompok Demokrasi Pembangunan di DPR dengan nama Fraksi Demokrasi Pembangunan
Mengusulkan Mh. Isnaeni sebagai Wakil Ketua DPR dari Fraksi KDP.
Menunjuk Drs. Hardjantho, Da Costa, SH serta Tahamata sebagai juru bicara Fraksi KDP dalam mengurus segala persoalan dengan Ketua Sementara DPR.

Pertemuan juga menghasilkan keputusan-keputusan dalam bentuk instruksi kepada organ lima parpol di daerah-daerah untuk melakukan langkah yang sama. Juga dibentuk Panitia Lima guna menyusun draft struktur organisasi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan KDP. Pada tanggal 28 Oktober 1971, masing-masing ketua lima parpol menandatangani “Pernyataan Pengukuhan”, yakni mengukuhkan “Pernyataan Bersama 9 Maret 1970” dan menyatakan kesediaan untuk “membentuk fraksi bersama di DPR”.
Di samping itu pertemuan menyisakan tiga masalah yang dituangkan dalam bentuk memorandum untuk dibicarakan lagi, masing-masing masalah dwi partai, status keanggotaan perorangan atau organisasi yang berafiliasi dengan partai anggota KDP dan masalah HAM.
Diperlukan waktu cukup lama untuk dapat mewujudkan kesepakatan di atas, yakni dengan disepakatinya “Ketentuan-Ketentuan Pokok Kelompok Demokrasi Pembangunan”, 8 Maret 1972. Ini merupakan hasil dari serangkaian pertemuan, masing-masing pertemuan Panitia Lima tanggal 3 dan 10 November 1971 serta 16 dan 16 Desember 1971, pertemuan pimpinan parpol 15 dan 26 November 1971 serta 3 dan 14 Januari 1972, dan 8 Februari 1972.
Pada 17 Maret 1972 berhasil dibentuk sebuah organ kepemimpinan tingkat pusat dari KDP yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Kelompok Pusat (MPKP). Pimpinan diberikan kepada Isnaeni sementara wakilnya adalah Sukarmadidjaja. Anggota-anggota unsur pimpinan terdiri dari Sukarmadidjaja, Hasjim Ning dan AP Tanri (IPKI), Ben Mang Reng Say, FC Palaunsoeka dan R.G Duriat (Partai Katolik), JCT Simorangkir, ZJ Manusama dan A. Wenas (Parkindo), dan Isnaeni, Sunawar Sukowati dan Hardjantho Sumodisastro. Sementara untuk kesekjenan dijabat oleh Wignyosumarsono dan Sabam Sirait sebagai Sekretaris dan Wakil, dengan lima orang anggota yang nantinya secara bergiliran menjadi sekretaris dan wakil sekretaris, masing-masing WA Chalik (IPKI), Wignjosumarsono (Partai Katolik), Sabam Sirait (Parkindo), John Pakan (Murba), dan A. Madjid (PNI). Terdapat 4 biro, masing-masing Biro Politik, Biro Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Biro Kesra, dan Biro Umum.

FUSI DAN PERKEMBANGAN AWAL PDI :
KISAH PERJALANAN KONFLIK


Sesi ini memberikan gambaran mengenai momentum, peristiwa, figur dan hasil-hasil penting sesaat sebelum dan selepas fusi 10 Januari 1973. Dengan demikian, sesi ini mendiskusikan proses fusi dan perkembangan awal selepas fusi hingga Kongres Surabaya.
Terbentuknya fraksi bersama tidak secara otomatis membawa lima parpol ke arah fusi. Terlampau banyak perbedaan dalam parpol yang sulit diselesaikan. Terdapat perbedaan luar biasa dalam cara untuk fusi. PNI misalnya mengusulkan mekanisme pemilu sebagai cara untuk mengurangi jumlah parpol (posisi ini terus bertahan hingga pertemuan 8 Januari 1973 dengan Pangkopkamtib, Jend. Sumitro). Tetapi parpol kecil menolak gagasan ini karena eksistensinya akan berakhir. Karenanya, proses ke arah fusi menjadi sangat tidak jelas. Bahkan Parkindo dan Partai Katolik (atas prakarsa Kasimo dan Da Costa) merencanakan melakukan “kerjasama” –bahkan hingga tingkat sebagai partai yang diberi nama Partai Kristen Demokrat– sebagai langkah awal untuk melakukan fusi yang lebih luas dengan partai lain. Gagasan ini tidak pernah terealisasi.
Karena lambannya proses fusi, Orba melakukan berbagai rekayasa untuk mempercepat kebijakan “hanya tiga bendera” dalam pemilu berikutnya. Dan rekayasa ini dimulai dengan penggarapan daerah-daerah oleh pemerintah untuk melakukan fusi di lokal masing-masing. Di bawah tekanan fusi daerah-daerah yang disponsori pemerintah, pimpinan KDP mengeluarkan SK No. 42/KD/1972, 24 Oktober 1972 yang menegaskan bahwa kemungkinan ke arah fusi sementara dirintis.
Dalam perkembangannya, fusi tidak bisa dielakan. Karenanya pimpinan parpol mulai melakukan serangkaian pertemuan. Dalam berbagai pertemuan, tiga kemungkinan nama muncul, masing-masing:
Partai Demokrasi Pancasila
Partai Demokrasi Pembangunan.
Partai Demokrasi Indonesia.

Akhirnya nama terakhir yang disepakati dengan kesadaran bahwa “demokrasi Indonesia” merupakan suatu kesatuan pengertian.
Setelah melewati proses melelahkan, akhirnya pada 10 Januari 1973, tepat pada pukul 24.00, Deklarasi Fusi ditandatangani oleh wakil masing-masing parpol, yakni Mh. Isnaeni dan A. Madjid (PNI), A. Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), Ben Mang Reng Say dan FX. Wignjosumarsono (Partai Katolik), A. Sukarmadidjaja dan M. Sadrie (IPKI) dan S. Murbantoko dan J. Pakan (Murba). Hasil fusi disiarkan secara luas lewat konferensi pers tanggal 11 Januari yang dipimpin Ben Mang Reng Say dan didampingi oleh Isnaeni, Wenas, Sukarmadidjaja, dan Murbantoko.
Pada tanggal 13 Januari 1973 dibentuk Majelis Pimpinan Pusat (MPP) di mana masing-masing unsur diwakili 5 orang dan sekaligus dibentuk DPP yang terdiri dari 11 orang dengan komposisi unsur 3:2:2:2:2 dimana posisi Ketua Umum diberikan pada PNI dan Sekjen Koordinator pada Parkindo sesuai dengan urutan perolehan suara Pemilu 1955.
Susunan lengkap dari DPP adalah:
Ketua umum : Mh. Isnaeni
Ketua : A. Sukarmadidjaja
Ketua : Ben Mang Reng Say
Ketua : A. Wenas
Ketua : Sugiarto Murbantoko
Ketua : Sunawar Sukowati
Sekjen Koord : Sabam Sirait
Sekjen : W.A Chalik
Sekjen : FS Wignjosumarsono
Sekjen : John Pakan
Sekjen : Abdul Madjid

DPP dilengkapi oleh lima departemen dengan satu ketua dan satu wakil, masing-masing Departemen Politik (Usep Ranuwidjaja dan John Pakan, Departemen Ekubang/Kesra (Sukarmadidjaja dan Sabam Sirait), Departemen Penerangan (Wenas dan Samosir), Departemen Pendidikan Kader/Pembinaan Massa (A. Madjid), dan Departemen Organisasi (Wignjosumarsono dan Tagor Harahap).
Setelah pengurus terbentuk, pada 17 Januari 1973 DPP menghadap presiden guna melaporkannya, yang disambut gembira. Langkah selanjutnya adalah melakukan konsolidasi ke daerah-daerah dan untuk itu dibentuklah 8 tim, dengan wilayah kerja yang sudah ditetapkan. Tim dengan cepat mampu menyelsaikan tugasnya di 26 propinsi dengan terbentuknya DPD-DPD, yang terakhir disahkan tanggal 11 Juli 1973, yakni DPD Maluku.
Pada tingkat DPC terjadi cukup banyak hambatan. Pada tahun 1973 sebanyak 154 cabang berhasil dibentuk. Pada tahun 1974 hanya 77. Tahun 1975, 20 cabang dan tahun 1976 hanya 6 cabang. Dan berdasarkan hasil rapat 28 November tahun 1975, dikeluarkan Instruksi No. 383/IN/D/DPP/XI/1975 untuk “segera membentuk Komisaris dan Komisaris Pembantu di setiap Kecamatan dan desa”.
Dalam diktum ketiga deklarasi ditegaskan pembentukan tim guna menyusun AD, struktur dan prosedur organisasi. Tim akhirnya dikenal dengan Tim 10 yang ditugaskan menyusun Piagam Perjuangan Partai, AD/ART serta Program Perjuangan Partai. Tim diketuai Sunawar yang kemudian digantikan oleh Sudjarwo karena Sunawar diangkat sebagai Dubes di Vietnam. Nama-nama Tim adalah Sadjarwo PNI-Ketua), Simorangkir (Wakil-Parkindo), Pakan (Sekretaris-Murba). Anggota-anggota adalah Chalik, Supangat, Wignjosumarsono, Samosir, TAM Simatupang, JB. Andries, dan MA Gowi.
Hasil kerja Tim 10 akhirnya disampaikan kepada MPP yang kemudian melakukan serangkaian rapat (di rumah Hasjim Ning). Dalam Rapat MPP 5 Maret 1973 disepakati dua hal penting:
Menyelesaikan Piagam Perjuangan, AD, ART dan Program Perjuangan yang selanjutnya diserahkan pada DPP.
Setelah disahkan berdirinya DPD PDI Tingkat I dan DPD Tingkat II seluruh tanah air akan diselenggarakan suatu pertemuan yang luas dan bersifat nasional sebagai forum prosedural untuk lebih memperlancar proses pemfusian.

Antara tanggal 8 s/d 10 Juni 1973, dalam sebuah rapat maraton di Cibogo, DPP dengan mengundang Tim 10 berhasil menyelesaikan AD/ART, sementara Piagam Perjuangan dan Program Perjuangan baru bisa dikukuhkan dalam rapat MPP 19-20 September 1973.
Penyelesaian yang dicapai pada tingkat formal dan dokumen tidak dengan sendirinya membawa PDI ke arah fusi yang bersifat tuntas. Persaingan di antara tokoh lintas parpol dan tokoh satu parpol, egoisme unsur, campur tangan pemerintah, dan sebagainya tetap mewarnai perjalanan parpol ini. Hal ini disebabkan karena konflik bukan saja terus bertahan tapi justru semakin intensif. Secara umum sumber-sumber konflik adalah sebagai berikut:
Pertama, perbedaan-perbedaan latar-belakang, besaran, basis sosial, dan orientasi ideologis antar lima parpol. Kedua, perbedaan motif dan sekaligus metode untuk fusi. Ketiga, rivalitas dan saling curiga yang kuat di antara parpol. Keempat, rivalitas antar elit lintas parpol dan antar elit dalam satu parpol. Kelima, terjadi penyempitan struktur dari lima parpol menjadi satu yang memacu meningkatnya dinamika persaingan untuk menduduki jabatan yang semakin terbatas. Keenam, kelima hal di atas sangat diperburuk oleh ambisi rejim untuk menundukkan parpol dan bahkan mengkerdilkan parpol. Hal ini diikuti –dan ini yang sangat penting– oleh kuatnya keinginan rejim untuk mengeliminasi peran politik tokoh-tokoh yang dianggap “garis keras” dan jauh dari patuh pada Orba. Akibatnya, tekanan, manipulasi, intervensi, dan masih banyak lainnya demikian intens berlangsung.
Ada tiga siklus perkembangan PDI antara tahun 1973–1986 sebelum pembusukan total tokoh-tokoh lama dan munculnya generasi baru.
Pertama, periode antara 10 Januari 1973 s/d 13 April 1976 saat berakhirnya Kongres I. Ini dapat disebut sebagai periode pemantapan fusi atau periode unifikasi, terutama karena sekalipun PDI secara legal formal sudah menjadi satu parpol, tapi dalam kenyataannya mekanisme unsur adalah mekanisme pokok yang berkembang. Upaya pemantapan dilakukan melalui Munas, 20-24 September 1973 –yang mengambil nama Konsultasi dan Penataran Nasional (KONFERNAS)– sebagai “forum prosedural untuk menciptakan pra-kondisi yang sebaik-baiknya menjelang Kongres I PDI”.
Sebelum (bahkan tanda-tandanya sudah muncul sebelum fusi) dan selepas Konfernas, perpecahan dan konflik internal mulai menggerogoti PDI. Konflik melibatkan baik lintas unsur, tokoh lintas unsur, maupun tokoh dalam unsur atau kombinasi tokoh lintas unsur. Konflik membawa pemerintah terlibat dalam penyelesaian. Sebuah formula jaminan kepentingan akhirnya bisa dicapai di mana figur-figur utama yang berkonflik, Isnaeni dan Sunawar, diparkir di halaman luar kepengurusan partai dan muncullah figur baru, Sanusi Hardjadinata yang oleh pemerintah dilihat sebagai jalan keluar.
Tokoh PNI (yang sudah pernah menyatakan keluar dari PDI) dari lingkungan birokrasi dan PT ini, setelah berunding dengan pemerintah dan mengajukan sejumlah syarat, termasuk menyertakan Usep Ranawidjaja dalam DPP akhirnya memimpin PDI.
Sanusi yang mendapatkan dukungan luas dari daerah-daerah ini dibebani dengan apa yang dikenal sebagai “misi damai dan serasi” yang dalam kenyataannya gagal diwujudkan karena sengketa yang terus berlanjut.
Kemunculan Sanusi membuat harapan bagi terwujudnya Kongres I, Kongres pemantapan Fusi mulai terbuka lagi setelah lama tenggelam dalam konflik. Beberapa kesepakatan ke arah kongres I akhirnya dicapai.
Tetapi baru pada tanggal 30 Desember 1975 rencana kongres kembali diagendakan dalam rapat DPP dan akhirnya setelah rangkaian persiapan, Kongres I dapat diselenggarakan 11 – 13 April 1976.
Dalam proses kongres, dua figur kunci, Isnaeni dan Sunawar, akhirnya sepakat untuk tidak masuk ke dalam DPP dan dengan demikian Kongres I berhasil menetapkan kepengurusan baru sbb:
Ketua Umum : M. Sanusi Hardjadinata
Ketua : Usep ranawidjaja
: A. Wenas
: Wignjosumarsono
: A. Sukarmadidjaja
: Muhidin Nasution
: Abdul Madjid
: JHD. Tahamata
: FC Pelaunsuka
: Andi Parengrengi Tanri
: John B. Andries
: IGN Gde Djakse
: RG Duriat
: Botosukardjo
: Rasjid Sultan Radja Mas
Sekjen : Sabam Sirait
Wasekjen : Sulomo
: B.D. Blegur
: MB Samosir
: Adi Tagor harahap
: J. Pakan
: Andjar Siswojo
: VB Da Costa
Bendahara Umum : Sani Fenat
Bendahara : MT Siregar
: Ny Walandouw
: Mustafa Supangat
: Zakaria Ra’ib

Kedua, periode antara 1976 s/d 1981 (Kongres II). Periode ini dapat disebut sebagai periode krisis internal karena sedemikian seringnya konflik yang berakhir dengan krisis kepemimpinan melanda PDI.
Ketiga, periode antara 1981 s/d 1986 (Kongres III). Periode ini dapat disebutkan sebagai periode re-unifikasi karena tugas pokok PDI adalah menyatukan kembali unsur dan personil yang bercerai-berai. Tapi juga bisa disebut sebagai periode pemantapan ideologi karena Kongres II secara dini telah menetapkan Pancasila sebagai ideologi partai.
Ternyata bukan hal mudah bagi Sanusi menjalankan roda organisasi. Konflik terus bertambah dan spektrumnya bahkan semakin meluas. PDI akhirnya terbelah ke dalam 2 kelompok besar dan dikendalikan oleh 2 DPP yang saling berseteru. Posisi dan sikap politik Sanusi ternyata jauh dari yang diharapkan penguasa. Ia sangat sulit dikendalikan, tidak seperti yang dibayangkan. Karenanya, adalah kepentingan kekuasaan rejim Orba untuk “melunakkannya”. Intervensi pemerintah dalam memicu konflik internal akhirnya menjadi pilihan cara yang diambil. Isnaeni dan Sunawar kembali mendapatkan ruang politik dalam PDI dan ini membawa PDI ke arah dua DPP.
Lahir DPP ganda memberikan alasan masuk bagi pemerintah. Dengan alasan menjelang SU MPR, pemerintah akhirnya melibatkan Bakin untuk menyelesaikan maslah DPP kembar. Dalam pertemuan antara tokoh-tokoh bertikai dengan Bakin tanggal 14 dan 16 Januari 1978 disepakati skenario penyelesaian –dikenal sebagai “Penyelesaian politis 16 Januari”– dimana DPP harus disusun kembali dengan melibatkan unsur kedua DPP yang bersaing. Kedua kubu akhirnya harus mengiklaskan sejumlah pendukungnya terlempar dari kepengurusan. Konflikpun mereda untuk beberapa saat.
Tetapi usia perdamaian hanya singkat. Konflik kembali menggila ketika Hardjantho dan kawan-kawan yang didukung penuh oleh penguasa melakukan Munas di Pandaan, Jatim (27-28 Pebruari 1979) yang akhirnya terus membawa PDI ke arah konflik tanpa akhir. Menjelang Kongres II arena konflik semakin meluas.
Pemicunya adalah kehendak pemerintah untuk memunculkan figur yang dibayangkan sebagai “pendukung rejim”, dan mengakhiri karier politik Sanusi lewat cara “demokratis”, yakni kongres partai. Ijin kongres yang diajukan kubu Sanusi tidak digubris rejim dan sebaliknya Sudomo menyusun kepanitiaan kongres yang secara prinsip menggambarkan komposisi dari DPP berikutnya. Sanusi akhirnya harus berhadap-hadapan dengan pemerintah, terutama Pangkopkamtib.
Dalam kemelut yang terus berlanjut, Sanusi mengambil langkah yang mengagetkan, yakni mengundurkan diri sesaat sebelum Kongres II 1981. Padahal ia sudah ditawari aneka kemungkinan jabatan, mulai dari Dubes luar biasa sampai dengan presiden komisaris. Dalam surat-surat dengan Sudomo, Sanusi mengungkapkan moral dan politiknya yang tidak bisa menerima apa yang dilakukan pemerintah.
Mundurnya Sanusi membuka ruang politik yang luas bagi Kongres II untuk diselenggarakan sesuai dengan selera penguasa. Tetapi inipun tidak mudah karena pada tingkat DPP, perlawanan terhadap intervensi rejim muncul dari empat tokoh kunci –dikenal sebagai “Kelompok Empat”– yang akhirnya disingkirkan dari dewan. Kelompok Empat awalnya muncul dari “Kelompok Konstitusi” – Madjid-Aberson – yang mendapatkan dukungan dari Usep, Walandauw, dan Z. Ra’ib.
Perlawanan Kelompok Empat akhirnya harus mengambil arena di luar partai. Dan dengan ini hambatan ke arah Kongres II tersudahi. Setelah melewati berbagai negosiasi dan “dagang sapi”, Kongres II akhirnya diselenggarakan pada 13 – 17 Januari 1981 yang menghasilkan DPP baru sebagai berikut:
Ketua Umum : Sunawar Sukowati
Ketua : Hardjantho Sumodisastro
: A. Wenas
: F.S. Wignjosumarsono
: A. Sukarmadidjaja
: M. Nasution
: Mh. Isnaeni

Sekjen : Sabam Sirait
Wakil Sekjen : Jusuf Merukh
: V.B. Da Costa
: AP. Tanri
: J. Pakan

Bendahara Umum : MB. Samosir
: Notosukardjo
: JHD. Tahamata
: M. Supangat
: Indra Bhakti

Periode ketiga adalah periode reunifikasi atau pemantapan ideologis. Berakhirnya Kongres sedikit melahirkan ketenangan sekalipun sisa persoalan sebelumnya masih belum terselesaikan.
DPP baru belajar dari pengalaman bahwa kehendak penguasa tampaknya harus dinomorsatukan jika ketenangan internal parpol ingin dicapai. Hal ini tercermin dari keputusan partai untuk mencanangkan empat komitmen yang seluruhnya menyenangkan rejim Soeharto, yakni:
Komitmen terhadap Orba
Pengakuan atas Dwifungsi ABRI
Penyatuan diri dengan kepemimpinan nasional di bawah Soeharto
Partisipasi aktif dalam pembangunan nasional

Hal-hal di atas dianggap bagian paling strategis untuk mensukseskan “Empat Mantap PDI” yang merupakan program strategis yang sudah mulai dibicarakan selepas SU MPR, 1983, yakni usaha-usaha konsolidasi di bidang ideologi, wawasan, dan organisasi.
Tetapi perkembangan selanjut menunjukkan bahwa Orba tidak semata-mata menginginkan PDI yang patuh pada rejim, tapi lebih lagi PDI yang kerdil yang tak akan pernah menjadi pesaing apalagi ancaman bagi kelangsungan hidup kekuasaan rejim. Hal ini akhirnya kembali membawa PDI ke dalam konflik serius yang mencapai puncaknya pada Kongres III yang akhirnya dialihkan kepada pemerintah.
Hanya saja konflik selama periode ini memiliki target yang lebih jelas, yakni sebagai cara untuk membusukkan secara total para politisi lama PDI yang dalam pengalaman Orba ternyata tidak bisa dikendalikan. Untuk itu secara diam-diam sebuah lapisan generasi baru yang diyakini lebih “Orba” dalam berpikir dan bertindak yang berbasis pada Litbang PDI dipelihara sebagai kekuatan baru yang nantinya menjadi sumber rekrutmen utama untuk kepengurusan DPP pasca Kongres III.
Konflik periode ini mencapai titik-titik puncak ketika gagasan Munas versus Kongres muncul. Pasca Desember 1984, setelah Sunawar dan Hardjantho didamaikan Mendagri, muncul tuntutan (dari KBGP PDI DKI Jaya) agar Kongres Luar Biasa digelar dan ini disambut dengan antusias oleh kubu Hardjantho, sebaliknya ditentang kubu Sunawar yang menghendaki Munas. Akhirnya kubu Kongres yang “memenangkan pertarungan” setelah pertemuan antara Mendagri dengan kubu yang bertikai, 5 Desember 1985, menyepakati penyelenggaraan Kongres yang akhirnya diselenggarakan pada 15–18 April 1986.
Setelah melalui proses yang sangat alot, Kongres gagal melahirkan kepengurusan DPP baru dan akhirnya dipasrahkan kepada Mendagri untuk menyusun DPP baru. Mendagri –setelah berbagai konsultasi– akhirnya memunculkan generasi baru yang sudah disiapkan sebagai pengurus DPP dengan menyudahi secara total keterlibatan figur-figur lama.
DPP hasil bentukan pemerintah adalah sebagai berikut:

Ketua Umum : Drs. Soerjadi
Ketua : BN. Marbun
: Sukowaluyo
: Noor Achari
: Yahya Nasution
: Duddy Singadilaga

Wakil Ketua : Andjar Siswojo
: Marcel Beding
: Parulian Silalahi
: Fatimah Ahkmad
: Jupri
: Royani Haminullah

Sekjen : Nico Daryanto
Wakil Sekjen : Titi Yuliasih
: Dimmy Haryanto
: Anwar Datuk

Bendahara : Lencang
Wakil Bendahara : St. J. Benuhardjo
: Stef Patrick Nafuni
: Markus Wauran

Tahun-tahun awal masa kerja DPP baru berjalan normal dan mulai menunjukkan tanda-tanda ke arah berakhirnya konflik. Tetapi watak kader PDI sebagai “pemberontak” terhadap rejim tak bisa dibunuh hanya dengan menguburkan tokoh-tokoh senior. Generasi baru ini ternyata juga memendam mimpi untuk dapat independen dan sekaligus tumbuh menjadi partai besar. Dan ini dilihat sebagai ancaman bagi kelangsungan kekuasaan dan dominasi Golkar dan militer. Karenanya, sekali lagi, generasi muda yang dibayangkan sebagai lebih bisa berpikir dan bertindak dalam logika “Orba” mesti ada yang kembali dikorbankan. Konflik akhirnya muncul kembali. Puncaknya adalah Kongres Medan yang penuh dengan kekerasan dan mengakhiri karier politik Soerjadi untuk sementara, tapi kemudian dihidupkan kembali oleh Orba dalam rangka menjegal Megawati, figur baru yang tumbuh secara diam-diam dan mendapatkan dukungan luas di kalangan arus bawah partai.

LAYAR SUDAH KUKEMBANGKAN :
KEMUNCULAN MEGA


Kehendak penguasa untuk mengakhiri karier Soerjadi sudah bulat. Sejumlah “dosa politiknya” terhadap Orba mengharuskan ia dikubur, sama dengan para senior sebelumnya. Kongres Medan dipersiapkan untuk itu. Tapi, Soerjadi memutuskan untuk mencoba melawan. Akibatnya, “aklamasi” bagi kembali berkuasanya Soerjadi dilakukan tubuh ini. Tapi ini melahirkan penentangan luas, apalagi kehendak penguasa memang bergerak ke arah itu. Kontroversi yang terus berlangsung akhirnya ditemukan jalan keluarnya lewat penyelenggaraan Kongres Luar Biasa di Surabaya.
Di luar skenario dan ekspektasi penguasa, perjalanan KLB Surabaya memunculkan figur baru yang lebih mengancam kelangsungan Orba: Megawati. Karenanya, segala kemungkinan cara akhirnya ditempuh penguasa untuk menghalangi kemunculan figur ini. Tetapi tekad arus bawah, dukungan publik dan media, serta konsistensi sikap membawa kemenangan de facto bagi Megawati untuk memimpin DPP. Keputusan KLB sudah tentu ditolak penguasa. Kekuatan-kekuatan rejim yang berada dalam parpol terus dimobilisasi untuk menggagalkan hal ini. Tapi hasilnya sangat mengcewakan rejim. Akhirnya, lewat proses Munas di Jakarta penguasa dengan terpaksa harus mengakui legalitas formal Mega sebagai pimpinan baru.
Tapi ini tidak membuat penguasa berputus asa. Segala jalan tetap ditempuh untuk menyudahi perannya, apalagi tanda-tanda bahwa PDI akan menjadi kekuatan sangat berpengaruh mulai jelas tampak di bawah kepemimpinan Megawati. Mencari figur untuk “mengimbangi” Mega dalam pengaruh di arus bawah bukan pekerjaan mudah. Sejumlah tokoh senior partai seperti Budi Hardjono sudah coba diplot. Tapi hasilnya tetap mengecewakan. Dalam kepanikan inilah figur Soerjadi kembali dilirik.
Soerjadi memiliki keunggulan. Ia sempat membangun jaringan struktur partai yang cukup solid hingga ke daerah-daerah. Kekuatan inilah yang akhirnya dipakai. Dan Soerjadi sepakat pada ide ini. Dalam konteks inilah, sebuah persekongkolan dibangun. Muncul tuntutan dari daerah-daerah untuk menyelenggarakan KLB untuk mengakhiri kepemimpinan Mega. Dan ini harus segera karena Pemilu segera akan digelar. Untuk itu semua jaringan institusi teritorial tentara dan birokrasi daerah diperintahkan untuk sepenuhnya berada di balik gagasan KLB. Teror, intimidasi, iming-iming dan masih banyak lagi langkah disiapkan di daerah-daerah. Sementara di tingkat DPP lebih dari sebagian anggota DPP digarap. Hasilnya adalah KLB. Tapi ini justru melahirkan penentangan lebih luas. Arus bawah, media, pengamat dan berbagai komponen lainnya melakukan perlawanan serentak. Hasil akhirnya adalah DPP kembar.
Di tingkat Jakarta dan daerah-daerah, perlawanan kolektif yang melibatkan elemen lebih luas, termasuk LSM, terhadap hasil KLB muncul secara konsisten. Di tengah-tengah keputusasaan ini, cara kekerasan dijadikan pilihan oleh penguasa. Hasilnya adalah Peristiwa 27 Juli 1996 yang memakan korban jiwa dan harta benda yang besar. Peristiwa ini melahirkan kehebohan politik maha besar, bahkan hingga ke dunia internasional. Mega dan PDI dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Godaan untuk melakukan perlawanan masif terbuka, apalagi dukungan rakyat demikian kongkrit. Tetapi akhirnya Mega memutuskan untuk menggunakan instrumen legal untuk menyudahi kasus ini. Munculah TPDI yang secara konsisten menguasai dan sekaligus mendikte opini publik.
Di luar perhitungan penguasa, peristiwa kelabu 27 Juli justru berbalik menjadi titik awal kebangkitan perlawanan masif terhadap Orba. Dan ini dibuktikan dengan jelas dari meluasnya aksi perlawanan terhadap Orba dan hilang totalnya suara PDI Soerjadi dalam Pemilu 1997.
Hal ini tidak terlepas dari keluarnya “Perintah Harian Ketua Umum”, yang sekalipun sangat terselubung –karena hanya menegaskan akan absen dalam menggunakan hak pilihnya– merupakan seruan bagi boikot politik yang terbukti sangat efektif. Puncak dari rangkaian perlawanan rakyat adalah Mei 1998 yang mengakhiri kekuasaan panjang Orba.

PERAYAAN SEBUAH KEMENANGAN

Kebangkrutan total dalam Pemilu dan turunnya Soeharto tidak secara otomatis membawa perubahan sikap penguasa Habibbie atas status legal PDI. Kehendak untuk tetap memastikan PDI tidak muncul sebagai partai besar dan kehendak untuk mengeliminasi Megawati tetap menjadi obsesi. Karenanya, Kongres PDI di Palu tetap mendapatkan dukungan penuh penguasa. Tetapi rakyat punya cara sendiri untuk mengadili kubu Soerjadi dan sekaligus memberikan dukungan bagi Megawati. Pada gilirannya, Pemilu 1999 menjadi arena pembuktian. PDI Soerjadi bangkrut total, sementara PDI Perjuangan mendapatkan dukungan luar biasa: hampir 35% di tingkat nasional.
Untuk mensiasati posisi politik rejim yang belum juga berubah, akhirnya dalam KLB di Bali diputuskan perubahan nama ke PDI Perjuangan. Hal ini semata-mata guna dapat memenuhi syarat legal untuk dapat menjadi peserta pemilu.
Kemenangan akhirnya diraih. Bahkan di sejumlah daerah bersifat sangat telak, seperti di Bali, Solo, Kota Surabaya, dan Tanah Karo. Tetapi kemenangan yang ada dirayakan dengan cara yang berbeda-beda. Di tingkat masyarakat, ia disyukuri dengan harapan baru bahwa periode politik kerakyatan akan dimulai. Tetapi di sebagian elit yang berada di dewan-dewan dirayakan sebagai peluang ekonomi. Aneka perilaku negatif akhirnya tak terhindarkan. Tetapi ini bukan sebuah kejutan. Sebelum pemilu Megawati memiliki kecemasan. Tetapi bukan kecemasan akan kekalahan, tapi kemenangan.
Kultur dan psikologi politik PDI Perjuangan sebagai kekuatan yang selalu tertindas dan dipinggirkan, sangat berbeda dengan kultur dan psikologis politik dari kekuatan yang memenangkan pertarungan. Gap antara kedua hal ini tercermin dari kejanggalan sikap warga partai, terutama yang mendapat peluang di parlemen.
Persoalan-persoalan serius yang melibatkan etalase utama partai –parlemen, struktural partai, dan eksekutif– menjadi keprihatinan baru. Konflik yang bersumber dari intervensi penguasa memang berakhir. Demikian pula yang sarat dengan nuansa ideologis. Tetapi motif-motif baru muncul. Konflik antara “orang baru” dan “orang lama” merebak. Antara yang “ingin melihat perubahan secara drastis dan cepat” dan yang melihat tahapan-tahapan perubahan mengeras. Konflik antara kekuatan-kekuatan uang dan kekerasan juga merebak. Kesemua ini merupakan tantangan Partai ke depan. Tetapi yang terpenting adalah bahwa kesemuanya telah menenggelamkan citra Partai. Ini harus disadari benar, karena politik Indonesia kini dan masa depan adalah pertama-tama dan terutama adalah “politik citra”. Ini pekerjaan rumah bagi kita semua dan inilah pentingnya forum kaderisasi ini
(Cornelis Lay)

Sabtu, Maret 01, 2008

Sejarah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Bahwa PDI Perjuangan merupakan partai politik yang sebenarnya adalah partai yang secara langsung memiliki tali kesejarahan dengan partai politik masa orde lama. PDI Perjuangan sebenarnya kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia yang berdiri pada tanggal 10 Januari 1973. Partai Demokrasi Indonesia itu lahir dari hasil fusi 5 (lima) partai politik. Kelima partai politik tersebut yaitu :

1. Partai Nasional Indonesia (PNI)

PNI didirikan Bung Karno tanggal 4 Juli 1927 di Bandung. Dengan mengusung nilai-nilai dan semangat nasionalisme, PNI kemudian berkembang pesat dalam waktu singkat. Karena dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial, tanggal 29 Desember 1929 semua kantor dan rumah pimpinan PNI digeledah. Bung Karno, Maskun, Supriadinata dan gatot mangkupraja ditangkap. Berdasarkan keputusan yang ditetapkan Raad van Justitie tanggal 17 April 1931, mereka dipidana penjara. Keputusan ini diartikan mencap PNI sebagai suatu organisasi yang terlarang.

Setelah tanggal 3 November 1945 keluar Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Partai Politik. Dengan landasan tersebut, tanggal 29 Januari 1946 di Kediri PNI dibentuk oleh partai-partai yang tergabung dalam Serikat Rakyat Indonesia atau di kenal dengan Serrindo pada waktu itu, PNI Pati, PNI Madiun, PNI Palembang, PNI Sulawesi, kemudian Partai Republik Indonesia Madiun, Partai Kedaulatan Rakyat Yogya, dan ada beberapa lagi partai kecil lainnya yang berada di Kediri. Fusi ini terjadi ketika ada Konggres Serrindo yang pertama di Kediri. Dalam Kongres tersebut PNI dinyatakan memiliki ciri Sosio-Nasionalisne-Demokrasi yang merupakan asas dan cara perjuangan yang dicetuskan Bung Karno untuk menghilangkan kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme. Pengunaan asas ini diasosiasikan sebagai "kebangkitan kembali PNI 1927" yang pernah didirikan Bung Karno.

Ideologi partai ini menggunakan apa yang dikembangkan oleh Bung Karno yaitu Marhaenisme, sebuah istilah yang di bangun atau dipakai oleh beliau ketika beliau melakukan kunjungan ke salah satu daerah di Jawa Barat dan bertemu dengan seorang petani yang namanya Marhaen.

PNI merupakan partai pemenang pemilu nomor satu dalam pemilu tahun 1955 dengan komposisi suara kurang lebih 22,3%. Basis sosial dari partai ini pertama-tama adalah masyarakat abangan di Jawa. Kekuatan mobilisasi terletak pada penguasaan atas birokrasi dan yang kedua adalah para pamong praja, lurah dan para kepala desa. Ini menjelaskan kenapa Golkar mengambil alih itu, PNI ambruk secara total. Ketika dukungan cukup merata menyebar di seluruh Indonesia, ketika di beberapa propinsi yang sangat terbatas seperti di Aceh, Sumatra Barat, dimana pendukung PNI itu jumlahnya kurang dari 0,7%. Di kawasan Jawa di bagian sebelah utara Bandung PNI tidak pernah mendapatkan basis dukungan yang kuat. Itu merupakan daerah Islam atau daerah Masyumi. Di Bandung daerah selatan itu merupakan kantong utama. Jawa Tengah adalah kantong-kantong utama, dan kontestan yang paling serius itu datang dari Partai Komunis Indonesia yang berada di beberapa daerah segitiga seperti Jelanggur dan seterusnya. Blitar bagian selatan dan sebagainya.

2. Partai Kristen Indonesia (Parkindo)

Parkindo adalah partai yang didirikan karena ada maklumat pada waktu itu, ia baru berdiri tahun 1945 tepatnya pada tanggal 18 November 1945 yang diketuai Ds Probowinoto. Parkindo merupakan penggabungan dari partai-partai Kristen lokal seperti PARKI (Partai Kristen Indonesia) di Sumut, PKN (Partai Kristen Nasional) di Jakarta dan PPM (Partai Politik Masehi) di Pematang Siantar.

3. Partai Katolik

Partai Katolik lahir kembali pada tanggal 12 Desember 1945 dengan nama PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia) merupakan kelanjutan dari atau sempalan dari Katolik Jawi, yang dulunya bergabung dengan partai Katolik. Sebenarnya partai ini pada tahun 1917-an itu sudah ada. Partai ini berdiri pada tahun 1923 di Yogyakarta yang didirikan oleh umat Katolik Jawa yang diketuai oleh F.S. Harijadi kemudian diganti oleh I.J. Kasimo dengan nama Pakepalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Pada Pemilu 1971 Partai Katolik meraih 606.740 suara (1,11%) sehingga di DPR mendapat 3 kursi.

4. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

IPKI atau Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia adalah partai yang didirikan terutama oleh tentara. IPKI sejak lahirnya mencanangkan Pancasila, semangat proklamasi dan UUD 1945 sebagai cirnya. Tokoh dibalik pendirian IPKI adalah AH. Nasution, Kol Gatot Subroto dan Kol Azis Saleh. Kelahirannya didasari oleh UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilu 1955. Dalam pemilu itu anggota ABRI aktif dapat dipilih melalui pemilu dan duduk di Konstituante.

IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954 kurang lebih satu tahun sebelum pemilu tahun 1955 yang berlangsung bulan September. Waktu itu, Jenderal Besar Nasution yang berpangkat kolonel, terlibat pada peristiwa yang sangat terkenal yaitu peristiwa 27 Oktober.

Peristiwa 27 Oktober ini adalah sebuah peristiwa dimana tentara melakukan upaya untuk memaksa Bung Karno membubarkan parlemen. Mereka datang ke istana, gerombolan tentara yang sangat banyak dengan tank, meriam diarahkan ke depan istana, dan meminta kepada Bung Karno untuk membubarkan parlemen, karena parlemen dianggap telah mengintervensi persoalan internal tentara. Nasution dipanggil, usianya baru 33 tahun dan disuruh kembali untuk memikirkan tindakannya, di copot jabatannya, antara Oktober 1952 sampai nantinya dia dikembalikan pada jabatannya pada tahun 1955. Selama tiga tahunan itu Nasution berfikir sangat serius. Bung Karno tidak bisa dilawan. Diantara tahun-tahun inilah Nasution kemudian mendirikan IPKI.

Dalam pertemuan sangat tertutup antara wakil IPKI dengan Soeharto pada tahun 1971. Dua tokoh IPKI yang besar atau salah satu tokoh IPKI yang besar, mantan Bupati Madiun, Achmad Sukarmadidjaja almarhum, mengatakan bahwa IPKI tidak mungkin hidup di dalam gerombolan partai-partai yang punya ideologi aneh-aneh dan ingin bergabung dengan golongan karya atau menjadi partai sendiri.

Kedekatan dengan Golkar, menjelang Deklarasi PDI 1973 IPKI pernah berpikir untuk bergabung ke Golkar. Tanggal 12 Maret 1970 Presiden Soeharto memberi jawaban atas permintaan Achmad Sukarmadidjaja bahwa IPKI bisa bergabung ke Golkar dengan syarat harus membubarkan diri lebih dahulu. IPKI cukup spesifik dan memiliki dukungan yang konkrit menurut pemilu 1955 kecuali sedikit di Jawa Barat, demikian juga dengan Murba. Hanya memiliki dukungan yang sangat sedikit di Jawa Barat kurang lebih 290.000-an orang. Pada Pemilu 1971 IPKI hanya mampu memperoleh 388.403 (0,62 %) sehingga tidak mendapat satupun kursi di DPR.

5. Murba

Murba didirikan pada tanggal 7 November 1948 setelah Tan Malaka keluar dari penjara. Murba adalah gabungan Partai Rakyat, Partai Rakyat Jelata dan Partai Indonesia Buruh Merdeka.

Menurut data Kementrian Penerangan RI tentang "Kepartaian di Indonesia" seri Pepora No. 8, Jakarta, 1981, istilah Murba mengacu pada pengertian "golongan rakyat yang terbesar yang tidak mempunyai apa-apa, kecuali otak dan tenaga sendiri". Asas partai ini antifasisme, anti imperialisme-kapitalisme dengan tujuan akhirnya mewujudkan masyarakat sosialisme.

Meski program Murba membela rakyat kecil dan kaum tertindas, dukungan riil rakyat terhadap Murba kurang begitu kuat. Terbukti dalam Pemilu 1971 partai ini tidak memperoleh satu pun kursi di DPR karena hanya mampu meraih 48.126 suara (0,09 %).

Proses fusi terjadi sebenarnya hanya untuk menjamin kemenangan kekuatan Orde Baru. Pada saat itu penguasa Orde Baru mengaktifkan Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar) yang proses pembentukannya didukung oleh militer. Tap MPRS No.XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan disebutkan agar Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong royong (DPR-GR) segera membuat Undang-Undang untuk mengatur kepartaian, keormasan dan kekaryaan yang menuju pada penyederhanaan.

Gagasan agar supaya fusi untuk pertama kali tahun 1970. Tepatnya 7 Januari tahun 1970. Soeharto memanggil 9 partai politik untuk melakukan konsultasi kolektif dengan para pimpinan 9 partai politik tersebut. Dalam pertemuan konsultasi tersebut, Soeharto melontarkan gagasan pengelompokan partai politik dengan maksud untuk menghasilkan sebuah masyarakat yang lebih tentram lebih damai bebas dari konflik agar pembangunan ekonomi bisa di jalankan. Partai politik dikelompokan ke dalam dua kelompok, kelompok pertama disebut kelompok materiil spirituil yang menekankan pada aspek materiil dan kedua adalah spirituil materiil yang menekankan pada aspek spiritual. Kelompok materiil spirituil menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spirituil materiil itu kemudian menjadi Partai Persatuan pembangunan.

Setelah diskusi-diskusi seperti itu tokoh-tokoh partai coba mulai bertemu dan mulai mendiskusikan gagasan ini. Pertemuan kemudian berlanjut pada tanggal 27 Februari 1970 Soeharto mengundang lima partai politik yang dikategorikan kelompok pertama yaitu PNI (Partai Nasiona Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan Murba. Ide pengelompokan yang dilontarkan Soeharto menjadi perhatian masyarakat umum dan ditengah-tengah proses pengelompokan tersebut berkembang rumor yang sangat kuat isu pembubaran partai-partai politik jika tidak dicapai kesepakatan untuk mengadakan pengelompokan sampai batas waktu 11 Maret 1971. Karena partai sangat lamban, mulai muncul gerakan di sejumlah daerah yang paling terkenal adalah di Jawa Barat. Panglima daerah di Jawa Barat pada waktu adalah Jenderal Darsono melakukan buldoser secara besar-besar ke partai di Jawa Barat. Muncul gagasan tentang dwi partai. Partai yang cuma dua di Indonesia. Dan korban paling utama pada waktu itu adalah Partai Nasional Indonesia.

Pada tanggal 7 Maret 1970 bertempat di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar di Jalan Teuku Umar No. 5 Jakarta, lima tokoh Partai yang hadir yaitu Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja (IPKI), Maruto Nitimihardjo dan Sukarni (Murba), VB Da Costa, Lo Ginting dan Harry Tjan (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo), mengadakan pertemuan dan pembicaraan mengenai pengelompokan partai. Dalam pertemuan tersebut, muncul kekhawatiran terjadinya polarisasi antara kelompok Islam dan non-Islam, oleh karenanya muncul gagasan sebagai alternatif untuk mengelompokan partai menjadi lima atau empat kelompok yang terdiri dari dua kelompok muslim, satu nasionalis, satu kristen dan satu kelompok karya. Namun pemerintah Orde Baru saat itu tetap menginginkan pengelompokan sesuai yang diajukan sebelumnya hingga akhirnya gagasan yang diusulkan oleh tokoh-tokoh tersebut tidak pernah terwujud.

Pada tanggal 9 Maret 1970 pertemuan pimpinan lima partai tersebut berlanjut ditempat yang sama dengan agenda pokok yaitu penyelesaian deklarasi atau pernyataan bersama dan pokok-pokok pikiran selanjutnya. Dalam pertemuan ini berhasil membentuk tim perumus yang terdiri dari Mh. Isnaeni, M Supangat, Murbantoko, Lo Ginting dan Sabam Sirait. Tim perumus menghasilkan "Pernyataan Bersama" yang ditanda tangani oleh ketua partai masing-masing, yakni Hardi (PNI), M Siregar (Parkindo), VB Da Costa (Partai Katolik), achmad sukarmadidjaja (IPKI) dan Sukarni (Murba).

Pada tanggal 12 Maret 1970 kembali dilakukan pertemuan dengan Presiden Soeharto yang didampingi oleh Brigjen Sudjono Humardani dan Brigjen Sudharmono. Dari pihak partai politik hadir Hardi dan Gde Djakse (PNI), Achmad Sukarmadidjaja dan M Supangat (IPKI), Maruto Nitimihardjo (Murba), VB Da Costa dan Lo Ginting (Partai Katolik) serta M Siregar dan Sabam Sirait (Parkindo).

Pada tanggal 24 Maret 1970 para pemimpin parpol tersebut kembali melakukan pertemuan di ruang kerja Wakil Ketua MPRS, M Siregar. Maksud pertemuan tersebut adalah untuk memperjelas keberadaan kelompok yang telah dibentuk, baik nama, sifat, pengorganisasian dan program. Hasil pertemuan tersebut akhirnya disepakati nama "Kelompok Demokrasi Pembangunan" dan dikukuhkan melalui SK No. 42/KD/1972, tanggal 24 Oktober 1972. Meskipun sebelumnya banyak muncul usulan-usulan nama yang diajukan oleh masing-masing partai, antara lain oleh Lo Ginting (Partai Katolik) yang mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi Kesejahteraan" atau "Kelompok Kesejahteraan Kerakyatan". Maruto Nitimihardjo (Murba) mengusulkan nama "Kelompok Gotong-Royong", karena kata "gotong royong" dianggap merupakan perasaan pancasila dan dapat menghindari polarisasi. Usep Ranawidjaja (PNI) keberatan karena bisa ditafsirkan dan dikaitkan dengan Orde Lama. M Supangat (IPKI) mengusulkan dibentuk "Badan Kerjasama" sebagai sifat pengelompokan yang dinamakan "Kelompok Pembangunan". Sabam Sirait (Parkindo) mengusulkan nama "Kelompok Demokrasi dan Pembangunan" atau "Kelompok Sosial Demokrat".

Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 tepat jam 24.00 dalam pertemuan Majelis Permusyawaratan Kelompok Pusat (MPKP) yang mengadakan pembicaraan sejak jam 20.30 di Kantor Sekretariat PNI di Jalan Salemba Raya 73 Jakarta, Kelompok Demokrasi dan Pembangunan melaksanakan fusi 5 Partai Politik menjadi satu wadah Partai yang bernama Partai Demokrasi Indonesia meskipun pada awal fusi sebenarnya muncul 3 (tiga) kemungkinan nama untuk fusi menjadi :

1. Partai Demokrasi Pancasila

2. Partai Demokrasi Pembangunan

3. Partai Demokrasi Indonesia


Deklarasi ditandatangani oleh wakil kelima partai yaitu MH. Isnaeni dan Abdul Madjid mewakili Partai Nasional Indonesia, A. Wenas dan Sabam Sirait Mewakili Partai Kristen Indonesia, Beng Mang Rey Say dan FX. Wignyosumarsono mewakili Partai Katolik, S. Murbantoko R. J. Pakan mewakili Partai Murba dan Achmad Sukarmadidjaja dan Drs. Mh. Sadri mewakili Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Dengan dideklarasikannya fusi kelima partai tersebut, maka lahirlah Partai Demokrasi Indonesia.

Setelah deklarasi fusi tersebut, selanjutnya untuk memenuhi poin 3 Deklarasi fusi, dibentuk tim penyusun Piagam Perjuangan, AD/ART, struktur organisasi dan prosedur yang diperlukan melaksanakan fusi tersebut. Tim yang dikenal sebagai Tim 10 itu semula diketuai Sunawar Sukowati (PNI) tapi kemudian diganti Sudjarwo (PNI) karena penugasan Sunawar sebagai duta besar.

Pada tanggal 13 Januari 1973 Majelis Pimpinan Partai (MPP) terbentuk, Sabtu 14 Januari 1973 jam 01.20 pagi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berhasil menyusun struktur dan personalia Dewan Pimpinan Pusat sampai terselenggaranya Kongres Nasional. Susunan kepengurusan DPP PDI sebagai berikut :

I. MAJELIS PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 25 orang) :

II. DEWAN PIMPINAN PUSAT (beranggotakan 11 orang)

DPP PDI bersama Tim 10 pada tanggal 8-10 Juni 1973 di Cibogo Bogor berhasil menyelesaikan AD/ART PDI dan telah disahkan dalam rapat DPP PDI tanggal 26 Juli 1973 serta dikukuhkan dalam rapat MPP PDI di kediaman hasyim Ning pada tanggal 4 Agustus 1973. Sementara Piagam dan Program Perjuangan Partai dikukuhkan dalam rapat MPP PDI tanggal 19-20 September 1973.

Untuk memenuhi poin 4 Deklarasi Fusi, kelima partai yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Murba mengadakan forum internal masing-masing partai. PNI menyelenggarakan Munas tanggal 27-28 Januari 1973 di Jakarta yang memutuskan bahwa masalah fusi dengan partai-partai lain tidak dipersoalkan dan menyetujui kebijakan DPP PNI dalam menghadapi fusi. Parkindo mengadakan Sidang Dewan Partai VII yang diperluas pada tanggal 8-10 Juli 1973 di Sukabumi hasilnya menyetujui kebijakan DPP Parkindo berfusi dalam PDI. Partai Katolik melaksanakan Sidang Dewan Partai yang diperluas pada tanggal 25-27 Februari 1973 di Jakarta dan hasilnya menyetujui kebijakan DPP untuk berfusi. IPKI melaksanakan Musyawarah Dewan Paripurna Nasional IV di Tugu-Bogor pada tanggal 25-27 mei 1973 dan Murba melaksanakan Sidang Dewan Partai pada tanggal 1-3 Agustus 1973 yang masing-masing menyetujui kebijakan DPP nya untuk berfusi.

Terbentuknya DPP diiringi terbentuknya kepengurusan Cabang (kepengurusan tingkat kabupaten) sebanyak 154 Cabang. Tahun 1974 kepengurusan Cabang bertambah 77 Cabang, tahun 1975 bertambah 20 Cabang, tahun 1976 bertambah 6 Cabang.

Musyawarah nasional adalah bentuk pertemuan besar PDI yang pertama pasca fusi. Setelah mendapat restu Presiden Soeharto tanggal 18 Juni 1973 dan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX tanggal 19 Juni 1973, DPP PDI melaksanakan Musyawarah Nasional (Munas). Dalam praktik, Munas I ini mengambil nama "Konpernas" (Konsultasi dan Penataran Nasional) di Jakarta tanggal 20-24 september 1973. Konpernas dihadiri utusan Dewan Pimpinan Daerah (DPD), MPP, Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu), Anggota Fraksi PDI di DPR, dan tokoh-tokoh Pemerintah seperti mayjen Ali Murtopo, Mayjen Subiyono (Wakil Dephankam), JB sumarlin (Wakil Bappenas), Mayjen Sunandar (Wakil Mendagri), Sulaiman (Wakil Menlu) dan Prof Sunario (Wakil Dewan Harian Angkatan 1945).

Kongres I PDI berlangsung dari tanggal 12 - 13 April 1976. Pelaksanaan Kongres I ini sempat tertunda-tunda akibat adanya konflik internal. Di dalam Kongres I ini intervensi pemerintah sangat kuat, pemerintah memplot Sanusi Hardjadinata agar terpilih. Dan hasilnya Sanusi Hardjadinata terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum DPP PDI. Susunan DPP hasil Kongres I yang susunan personalianya sudah disempurnakan atas kesepakatan antara Mh Isnaeni dan Sunawar.

Kepengurusan tersebut karena adanya konflik diantara pengurus DPP, maka pada tanggal 16 Januari 1978, susunan DPP PDI hasil penyelesaian politik bersama Bakin.

Kongres II dilaksanakan pada tahun 1981 di Jakarta, meskipun ada penolakan dari "Kelompok Empat" (Usep, Abdul Madjid, Walandauw dan Zakaria Ra'ib) yang mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah. Namun Kongres II PDI tetap berlangsung pada tanggal 13-17 Januari 1981 mengambil tema : "Dengan Menggalang Persatuan dan Kesatuan Dalam Rangka Memantapkan Fusi, Meningkatkan Peranan dan Partisipasi PDI Untuk Mensukseskan Pembangunan".

Di dalam Kongres II ini campur tangan pemerintah semakin kuat. Meskipun ada keberatan terhadap pelaksanaan Kongres tersebut, Kongres II PDI tetap berjalan. Pemerintah tetap mengizinkan penyelenggaraan Kongres tersebut dan Presiden Soeharto yang membuka acara Kongres II PDI.

Di dalam Kongres II PDI menghasilkan kesepakatan-kesepakatan diantara partai-partai pendukung PDI yang berkonflik. Kongres II PDI akhirnya menyepakati bahwa fusi telah tuntas.

Pasca Kongres II PDI konflik internal masih terjadi yaitu perselisihan antara Hardjanto dengan Sunawar. Kelompok hardjanto mendesak diselenggarakannya Kongres Luar Biasa sedangkan Kubu Sunawar hanya menghendaki Munas. Kubu Sunawar menginginkan Kongres III PDI diselenggarakan setelah pemilu 1987, sementara kubu Hardjanto menginginkan sebelum Pemilu. Akhirnya Kongres III PDI diselenggarakan sebelum Pemilu yaitu pada tanggal 15-18 April 1986 di Wisma haji Pondok Gede, Jakarta. Kongres III dapat diselenggarakan karena Sunawar Soekawati meninggal dunia. Di dalam Kongres ini semaki menegaskan kuatnya ketergantungan PDI pada Pemerintah. Kongres III PDI gagal dan menyerahkan penyusunan pengurus kepada Pemerintah. Pada waktu itu yang berperan adalah Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal Benny Moerdani dan Menteri Muda Sekretaris Kabinet Moerdiono.

Konflik internal terus berlanjut sampai dengan dilaksanakannya Kongres IV PDI di Medan. Kongres IV PDI diselenggarakan tanggal 21-25 Juli 1993 di Aula Hotel Tiara, Medan, Sumatera Utara dengan peserta sekitar 800 orang. Dalam Kongres tersebut muncul beberapa nama calon Ketua Umum yang akan bersaing dengan Soerjadi, yakni Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, Soetardjo Soerjogoeritno dan Tarto Sudiro, kemudian muncul nama Ismunandar yang merupakan Wakil Ketua DPD DKI Jakarta.

Budi Hardjono saat itu disebut-sebut sebagai kandidat kuat yang didukung Pemerintah. Tarto Sudiro maju sebagai calon Ketua Umum didukung penuh oleh Megawati Soekarnoputri. Saat itu posisi Megawati belum bisa tampil mengingat situasi dan kondisi politik masih belum memungkinkan.

Kongres IV PDI di Medan dibuka oleh Presiden Soeharto dan acara tersebut berjalan lancar. Namun beberapa jam kemudian acara Kongres menjadi ricuh karena datang para demonstran yang dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea mencoba menerobos masuk ke arena sidang Kongres namun dihadang satuan Brimob. Acara tetap berlangsung sampai terpilihnya kembali Soerjadi secara aklamasi sebagai Ketua Umum, namun belum sampai penyusunan kepengurusan suasana Kongres kembali ricuh karena aksi demonstrasi yng dipimpin oleh Jacob Nuwa Wea berhasil menerobos masuk ke arena Kongres. Kondisi demikian membuat pemerintah mengambil alih melalui mendagri Yogie S Memed mengusulkan membentuk caretaker. Dalam rapat formatur yang dipimpin Latief Pudjosakti Ketua DPD PDI jatim pada tanggal 25-27 Agustus 1993 akhirnya diputuskan susunan resmi caretaker DPP PDI .

Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di Medan, muncul nama Megawati Soekarnoputri yang diusung oleh warga PDI untuk tampil menjadi Ketua Umum. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Dukungan tersebut muncul dari DPC berbagai daerah yang datang kekediamannya pada tanggal 11 September 1993 sebanyak lebih dari 100 orang yang berasal dari 70 DPC. Mereka meminta Megawati tampil menjadi kandidat Ketua Umum DPP PDI melalui Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.

Dukungan terhadap Megawati semakin kuat dan semakin melejit dalam bursa calon Ketua Umum DPP PDI. Muncul kekhawatiran Pemerintah dengan fenomena tersebut. Pemerintah tidak ingin Megawati tampil dan untuk menghadang laju Megawati ke dalam bursa pencalonan Ketua Umum, dalam acara Rapimda PDI Sumatera Utara tanggal 19 Oktober 1993 yang diadakan dalam rangka persiapan KLB muncul larangan mendukung pencalonan Megawati.

Kendati penghadangan oleh Pemerintah terhadap Megawati untuk tidak maju sebagai kandidat Ketua Umum sangat kuat, keinginan sebagian besar peserta KLB untuk menjadikan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI tidak dapat dihalangi hingga akhirnya Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 secara de facto.

Untuk menyelesaikan konflik PDI, beberapa hari setelah KLB, Mendagri bertemu Megawati, DPD-DPD dan juga caretaker untuk menyelenggarakan Munas dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP PDI. Akhirnya Musyawarah Nasional (Munas) dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta dan secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI. Dalam Munas ini dihasilkan kepengurusan DPP PDI periode 1993-1998.

Berakhirnya Munas ternyata tidak mengakhiri konflik internal PDI. Kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle walau tidak diakui oleh Pemerintah namun kegiatannya tidak pernah dilarang. Disamping itu kelompok Soerjadi sangat gencar melakukan penggalangan ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan menggelar Kongres. Dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres.

Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri menolak tegas diselenggarakannya "Kongres", kemudian pada tanggal 5 Juni 1996, empat orang deklaratir fusi PDI yakni Mh Isnaeni, Sabam Sirait, Abdul Madjid dan Beng Mang Reng Say mengadakan jumpa pres menolak Kongres.

Kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh Pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada tanggal 2-23 Juni 1996 di Asrama Haji Medan dengan didukung penjagaan yang sangat ketat dari aparat keamanan lengkap dengan panser. Pagar Asrama Haji tempat kegiatan berlangsung ditinggikan dengan kawat berduri setinggi dua meter. Disamping itu di persimpangan jalan dilakukan pemeriksaan Kartu Tanda Penduduk terhadap orang-orang yang melintas.

Warga PDI yang tetap setia mendukung Megawati demonstrasi secara besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres rekayasa yang diselenggarakan oleh kelompok Fatimah Achmad, demontrsi itu berakhir bentrok dengan aparat dan saat ini dikenal dengan "Peristiwa Gambir Berdarah".

Meskipun masa pendukung Megawati yang menolak keras Kongres Medan, namun Pemerintah tetap mengakui hasil Kongres tersebut. Pemerintah mengakui secara formal keberadaan DPP PDI hasil Kongres Medan dan menyatakan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Tanggal 25 Juli 1996 Presiden Soeharto menerima 11 pengurus DPP PDI hasil Kongres Medan yang dipimpin oleh Soerjadi selaku Ketua Umum dan Buttu Hutapea selaku Sekretaris Jenderal. Hal ini semakin membuat posisi Megawati dan para pengikutnya semakin terpojok.

Masa pendukung Megawati mengadakan "Mimbar Demokrasi" dihalaman Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro hingga pada tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa "Sabtu Kelabu 27 Juli" yang banyak menelan korban jiwa.

Pasca peristiwa 27 Juli, Megawati beserta jajaran pengurusnya masih tetap eksis walaupun dengan berpindah-pindah kantor dan aktivitas yang dilakukan dibawah pantauan Pemerintah. Pada Pemilu 1997 Megawati melalui Pesan Hariannya menyatakan bahwa PDI dibawah pimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. Pemilu 1997 diikuti oleh PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan hasil Pemilu menunjukan kuatnya dukungan warga PDI kepada Megawati karena hasil Pemilu PDI merosot tajam dan hanya berhasil meraih 11 kursi DPR.

Tahun 1998 membawa angin segar bagi PDI dibawah kepemimpinan Megawati.Di tengah besarnya keinginan masyarakat untuk melakukan reformasi politik, PDI dibawah kepemimpinan Megawati kian berkibar. Pasca Lengsernya Soeharto, dukungan terhadap PDI dibawah kepemimpinan Megawati semakin kuat, sorotan kepada PDI bukan hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.

Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI dibawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Kongres ini berlangsung secara demokratis dan dihadiri oleh para duta besar negara sahabat. Kongres ini disebut dengan "Kongres Rakyat". Karena selama kegiatan Kongres berlangsung dari mulai acara pembukaan yang diselenggarakan di lapangan Kapten Japa, Denpasar sampai acara penutupan Kongres, jalan-jalan selalu ramai dipadati warga masyarakat yang antusias mengikuti jalannya Kongres tersebut.

Di dalam Kongres V PDI, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi.

Didalam Kongres tersebut, Megawati diberi kewenangan khusus untuk mengambil langkah-langkah organisatoris dalam rangka eksistensi partai, NKRI dan UUD 1945, kewenangan tersebut dimasukan di dalam AD-ART PDI. Meskipun pemerintahan sudah berganti, namun yang diakui oleh Pemerintah adalah masih tetap PDI dibawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karenanya agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 yang disahkan oleh Notaris Rakhmat Syamsul Rizal, kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istoran Senayan Jakarta.

Pemilu tahun 1999 membawa berkah bagi PDI Perjuangan, dukungan yang begitu besarnya dari masyarakat menjadikan PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu dan berhasil menempatkan wakilnya di DPR sebanyak 153 orang. Dalam perjalananya kemudian, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden mendampingi KH Abdurahman Wahid yang terpilih didalam Sidang Paripurna MPR sebagai Presiden Republik Indonesia Ke - 4.

Untuk pertama kalinya setelah berganti nama dari PDI menjadi PDI Perjuangan, pengurus DPP PDI Perjuangan memutuskan melaksanakan Kongres I PDI Perjuangan meskipun masa bakti kepengurusan DPP sebelumnya baru selesai tahun 2003. Salah satu alasan diselenggarakannya Kongres ini adalah untuk memantapkan konsolidasi organisasi Pasca terpilihnya Megawati sebagai Wakil Presiden RI.

Kongres I PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 27 Maret - 1 April 2000 di Hotel Patra Jasa Semarang-Jawa Tengah. Menjelang Kongres I PDI Perjuangan, sudah muncul calon-calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, nama yang muncul antara lain Dimyati Hartono yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan, kemudian muncul pula nama Eros Jarot yang sempat menggalang DPC-DPC untuk mendukungnya. Di dalam pemandangan umum Cabang-Cabang, dari 243 DPC, hanya 2 DPC yang mengusulkan nama lain yaitu DPC Kota Jayapura dalam pemandangan umumnya mengusulkan 3 orang calon Ketua Umum yaitu Megawati, Dimyati Hartono dan Eros Jarot, kemudian DPC Kota Banjarmasin mengusulkan Eros Jarot sebagai KetuanUmum DPP PDI Perjuangan.

Kongres I PDI Perjuangan akhirnya menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005 secara aklamasi tanpa pemilihan karena 241 dari 243 DPC mengusulkan nama Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI Perjuangan.

Setelah Kongres I PDI Perjuangan tahun 2000, pada tahun 2001 Megawati diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia Ke - 5 menggantikan KH Abdurahman Wahid yang diturunkan dalam Sidang Istimewa MPR-RI. Diangkatnya Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke - 5 membawa perubahan pada sikap politik PDI Perjuangan dan cap sebagai partai penguasa melekat di PDI Perjuangan.

Meski sebagai partai penguasa, PDI Perjuangan ternyata tidak mampu meraih kemenangan di dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2004. PDI Perjuangan hanya mampu memperoleh suara diurutan kedua dengan 109 kursi di DPR.

Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan pada tanggal 28 - 31 Maret 2005 di Hotel Grand Bali Beach, Denpasar Bali, tempat dimana Kongres V PDI diselenggarakan pada tahun 1998. Kongres ini selesai 2 hari lebih cepat dari yang dijadwalkan yaitu 28 Maret - 2 April 2005.

Menjelang Kongres II PDI Perjuangan diselenggarakan, sudah banyak muncul nama-nama yang akan maju sebagai calon kandidat Ketua Umum DPP PDI Perjuangan antara lain Guruh Soekarnoputra yang digagas oleh Imam Mundjiat Ketua DPD PDI Perjuangan Kalimantan Timur, Laksamana Sukardi, Roy BB Janis, Arifin Panigoro dan Sophan Sophiaan.

Masing-masing calon tersebut giat melakukan penggalangan kekuatan di daerah. Disamping itu kelima calon tersebut beberapa kali mengadakan pertemuan-pertemuan di beberapa hotel di Jakarta salah satunya pertemuan di Sahid Jaya Hotel. Di kemudian hari kelima calon ini bergabung menjadi satu dalam satu wadah yang dinamakan "Kelompok Gerakan Pembaruan PDI Perjuangan" yang mengusung satu nama calon Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yaitu Guruh Sukarno Putra.

Di dalam sidang paripurna pertama, sidang sempat ricuh saat pembahasan tata tertib yang diikuti beberapa peserta walk out dari arena sidang. Namun sidang paripurna tetap berlangsung setelah Ir. Sutjipto selaku pimpinan sidang mengajukan penawaran kepada peserta yang menolak Pasal 7 tata tertib untuk berdiri dan yang menyetujui tetap duduk, ternyata dari 1822 peserta hanya beberapa orang yang berdiri dan sidang dilanjutkan kembali.

Kongres II PDI Perjuangan akhirnya berakhir pada tanggal 31 Maret 2005 setelah Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum terpilih karena seluruh peserta dalam pemandangan umumnya mengusulkan Megawati menjadi Ketua Umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010.

Susunan pengurus DPP PDI Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan :

Ketua Umum : Megawati Soekarnoputri

Sekretaris Jendral : Ir. Pramono Anung W.

Wakil Sekjen Bidang Internal : Mangara M. Siahaan
Wakil Sekjen Bidang Eksternal : Agnita Singedekane Irsal
Wakil Sekjen Bidang Fungsi Pemerintahan : Sutradara Gintings

Bendahara : Philip Widjaja

Wakil Bendahara Bidang Dana : Daniel Budi Setiawan
Wakil Bendahara Bidang Inventarisasi Kekayaan : NGA. Sukma Dewi Djakse

Bidang Internal

Ketua Bidang Politik dan Pemenangan Pemilu : Tjahjo Kumolo
Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi : Suwarno
Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi : Alexander Litaay
Ketua Bidang Sumberdaya dan Dana : Murdaya Poo
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat & Media : Panda Nababan

Bidang Eksternal

Ketua Bidang Pemuda Mahasiswa & Olahraga : Maruarar Sirait
Ketua Bidang Buruh Tani & Nelayan : Jacob Nuwawea
Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan : Guruh Soekarno Putra
Ketua Bidang Usaha Kecil Menengah & Koperasi : Ir. Mindo Sianipar
Ketua Bidang Agama & Kerohanian : Prof.Dr.Hamka Haq
Ketua Bidang Organisasi Kemasyarakatan : Dudhie Makmun Murod
Ketua Bidang Informasi & Komunikasi : Ir. Daryatmo Mardiyanto
Ketua Bidang Lingk Hidup & Pengabdian Masyarakat : Sonny Keraf

Bidang Fungsi Pemerintahan

Ketua Bidang Keamanan dan Pertahanan : Theo Syafei
Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat : Adang Ruchiyatna
Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan : Ir. Emir Moeis
Ketua Bidang Luar Negeri : Dr. Arief Budimanta
Ketua Bidang Dalam Negeri / Otonomi Daerah : Ir. Sutjipto
Ketua Bidang Hukum & Hak Azasi Manusia : Firman Jaya Daeli

Pada tanggal 25 April 2005, kepengurusan DPP PDI Perjuangan hasil Kongres II PDI Perjuangan dilaporkan ke Departenmen Kehakiman dan HAM dan pada tanggal 30 Mei 2005 Menteri Hukum dan HAM menerbitkan surat keputusan nomor : M-01.UM.06.08 Tahun 2005 yang menerima perubahan kepengurusan dan AD-ART hasil Kongres tersebut