Rabu, April 23, 2008

MK Selesaikan Sengketa Pilkada?

MK Selesaikan Sengketa Pilkada?

Masyarakat di Kelurahan Sentiong, Ternate Utara, Maluku Utara, mempersiapkan tempat pemungutan suara untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 3 November tahun lalu. Sampai kini hasil Pilkada Maluku Utara belum diputuskan sehingga belum ada kepala daerah definitif di provinsi itu.

Ketegangan di Maluku Utara belum reda. Pemungutan suara untuk memilih Gubernur Malut sebenarnya sudah dilangsungkan pada 3 November tahun lalu. Proses perhitungan suara berlangsung jelimet, muncul dua keputusan penetapan hasil dengan pasangan calon terpilih yang berbeda. Gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah diajukan akhir November, tetapi putusan Mahkamah Agung tidak pula menyelesaikan kerumitan.

Perintah untuk menghitung ulang suara di Kecamatan Jailolo, Ibu Selatan, dan Sahu Timur di Kabupaten Halmahera Barat dilaksanakan dua pihak yang berbeda. Hasilnya menunjuk kepada pasangan terpilih yang berbeda pula. Alhasil, kepastian tidak kunjung didapat. Sampai kini.

Sebelumnya, putusan atas sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Sulawesi Selatan pun sempat melahirkan ketegangan antardua kubu pendukung pasangan calon kepala daerah. Pada 16 November 2007, pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel sebagai pemenang. Tetapi, pasangan Amin Syam- Mansyur Ramli menggugat hasil itu ke Mahkamah Agung (MA). Berikutnya, MA memerintahkan pelaksanaan pilkada ulang di Kabupaten Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja. Namun, pada putusan peninjauan kembali (PK), MA membatalkan putusan itu karena dinilai mengandung kekhilafan hakim dan kekeliruan penerapan hukum. Pasangan calon terpilih pun terpastikan.

Pertikaian yang berlarut akibat putusan sengketa hasil pilkada merupakan salah satu pertimbangan yang mendasari pembahasan perubahan kedua atas Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Semestinya, putusan atas sengketa itu punya ketegasan, menunjuk perhitungan mana yang benar dan yang salah. Kebenaran yang dicari dan mesti diputuskan adalah soal angka. Dengan begitu, ketika keluar putusan atas sengketa hasil pilkada, langsung diketahui calon mana yang menjadi pasangan kepala daerah terpilih.

Alhasil, oleh Komisi II DPR bersama pemerintah disepakatilah penanganan sengketa hasil pilkada dialihkan dari MA ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rumusan ini sejalan dengan masukan organisasi nonpemerintah yang diterima DPR. Pengalihan itu dinilai sejalan dengan pemahaman, pilkada adalah rezim pemilu sehingga sengketa hasilnya pun harus ditangani institusi yang sama. Ketika sengketa hasil pemilu anggota legislatif dan pemilu presiden ditangani MK, demikian pula untuk pilkada.

Salah satu yang mengokohkan pijakan usul itu adalah Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk perselisihan tentang hasil pemilu. Merujuk penjelasan Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, putusan MK bersifat final, langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, dan tak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan MK final dan mengikat mencegah adanya sengketa pascaputusan itu.

Untuk memberi tenggang waktu yang cukup bagi MK menyiapkan diri menangani sengketa pilkada, dalam Perubahan Kedua UU No 32/2004 dinyatakan, penanganan sengketa hasil penghitungan suara pilkada oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak UU itu diundangkan. Kepastian mulainya penanganan oleh MK sepenuhnya tergantung dari kesiapan teknis MK.

Sebagai ilustrasi soal beban kerja, laporan tahunan MK menunjukkan, 45 perkara perselisihan hasil Pemilu 2004 mesti ditanganinya. Sepanjang tahun itu, MK menerima dan meregistrasi 73 perkara. Selain itu, terdapat tambahan 20 perkara yang masih dalam proses pemeriksaan persidangan. Total sepanjang 12 bulan itu, MK menangani 93 perkara. Hasilnya, MK memutus 82 perkara. Kini, dengan tambahan tugas menangani sengketa hasil pilkada, tugas MK jelas lebih berat.

Namun, tak berapa lama sejak revisi UU No 32/2004 disetujui DPR bersama pemerintah awal April, MK pun merespons cepat dengan menyatakan kesiapannya menangani sengketa hasil pilkada. Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan, MK memiliki sistem yang mendukung kesiapan itu dan berpengalaman menangani perselisihan hasil Pemilu 2004. MK bisa menyelesaikan sengketa dengan cepat, pasti, tegas, dan tanpa menimbulkan masalah baru. MK memiliki sistem pendaftaran perkara secara online dan fasilitas teleconference. Dengan sistem online itu, tempat sidang tetap di Jakarta, kecuali ada hal yang tak memungkinkan saksi atau ahli datang ke Jakarta, MK siap menggelar teleconference.

DPR dan pemerintah sah-sah saja meyakini proses di MK lebih baik. MK boleh saja cepat menyatakan kesiapannya. Namun, ada pula yang berpendapat lain. Penanganan sengketa hasil pilkada oleh MA justru membuka kesempatan untuk melakukan koreksi jika ada putusan yang nyeleneh. Kalau putusan tingkat pertama dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, masih ada peluang untuk mengajukan PK. Di sisi yang ”positif”, upaya itu dinilai meluruskan substansi perolehan hasil dalam pemilihan wali kota Depok (Jawa Barat) dan pemilihan Gubernur Sulsel.

Pengalaman 2004

Patut pula disimak pernyataan Ketua MA Bagir Manan, yang menyebutkan adanya kekeliruan sejak awal pilkada. Padahal, sengketa pilkada di MA hanya memungkinkan untuk proses penghitungan akhir. Namun, pada praktiknya, dalam beberapa sidang pilkada, fakta mengenai kecurangan terungkap pada tahapan sebelumnya. Akibatnya, bila penghitungan akhir salah dan ternyata tidak dapat diperbaiki (Kompas, 5/1).

Pengalaman Pemilu 2004 juga mengajarkan, secara prosedural, benar MK memutuskan perselisihan hasil pemilu dengan putusannya yang final. Namun, secara substansial, bagaimana jika KPU menyatakan ada tindak pidana pemilu yang menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya menjadi berkurang?

Di Papua, misalnya, kursi DPR yang semestinya milik Partai Golkar telanjur ditetapkan sebagai hak Partai Pelopor. Di Irian Jaya Barat (kini Papua Barat), kursi Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan telanjur diisi wakil dari Partai Damai Sejahtera. Padahal, di kemudian hari ada proses pidana yang menunjukkan adanya kecurangan. Upaya KPU menjamin rasa keadilan berdasarkan kondisi senyatanya tidak terpenuhi.

(http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/04/23/00141391/mk.selesaikan.sengketa.pilkada)

Tidak ada komentar: