Minggu, Oktober 05, 2008

Kepentingan Politis Parpol dalam Teknis Pemilu

Kepentingan Politis Parpol dalam Teknis Pemilu

Golkar Mencontreng, PDI Mencoblos
Persiapan Pemilu 2009 terasa begitu rumit. Sejak awal pembuatan RUU sudah penuh debat. Sudah menjadi UU pun, tetap dirombak. Misalnya, mengapa metode mencoblos tetap digunakan, padahal dalam UU sudah disebut menandai. Bagaimana manuver parpol besar untuk menjaga kepentingannya itu?

Urusan teknis menandai surat suara bukan persoalan sepele. Masalah itu ternyata menjadi persoalan rumit dan membutuhkan debat yang panjang untuk menentukannya. Parpol berjuang mati-matian untuk meloloskan kepentingannya. Lobi berlarut-larut harus terus dilakukan. Tidak hanya antarfraksi di internal DPR, tapi juga antara DPR dengan wakil pemerintah. 

Partai Golkar yang menjadi fraksi terbesar berusaha mati-matian meninggalkan pola lama, yakni mencoblos. Partai berlambang beringin itu membawa usul agar teknis menandai dengan mencontreng menggunakan pena. Sementara fraksi lain, termasuk PDIP, tetap menginginkan mencoblos. Hasil kesepakatannya, sesuai yang tertuang pada pasal 156 UU Pemilu, pemberian suara untuk pemilu anggota legislatif dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada surat suara. 

Namun, perdebatan tak berhenti di situ. Sebab, aturan tersebut masih terlampau umum. Pilihan teknisnya tetap harus diserahkan kepada penyelenggara pemilu melalui peraturan KPU. Bola pun berpindah ke lembaga penyelenggara pemilu tersebut.

Pada awal pembahasan, KPU sempat menyatakan bahwa aturan menandai dalam UU Pemilu No 10/2008 sudah sangat jelas. Yakni, dilakukan dengan memberikan tanda satu kali pada salah satu kolom nama caleg, nomor caleg, atau nama partai.

Dalam hal ini, KPU menilai pengertian dalam UU tersebut adalah memberikan penandaan menggunakan media tulis seperti bolpoin atau spidol. Yang dipahami KPU itu sebenarnya sudah sesuai UU Pemilu 2008 yang disahkan pada Maret 2008.

Tapi, UU Pemilu diterapkan, sejumlah fraksi di DPR kembali melakukan manuver. Mereka menuntut agar KPU kembali saja pada tata cara mencoblos. Mereka berpandangan, tata cara menandai tidak bisa diaplikasikan pada Pemilu 2009 yang akan datang dalam hitungan bulan. "Sejak awal kami sangat setuju dengan mencoblos," kata anggota FPDIP Yasonna Laoly saat dihubungi kemarin (4/10).

Mantan wakil ketua Pansus RUU Pemilu itu mengaku partainya memiliki kepentingan dengan diakuinya kembali teknis mencoblos sebagai salah satu alternatif sah dalam pemberian suara. "Namun, semua itu bukan untuk kepentingan kami sendiri, tapi bangsa ini secara umum," ujarnya berdalih. Sebab, faktanya, menurut Yasonna, masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di level rendah dalam hal pendidikan dan informasi. 

PDIP memang termasuk paling diuntungkan oleh sistem mencoblos. Sebab, basis utama PDIP adalah masyarakat bawah yang kurang pendidikan. Apalagi, partai itu menerapkan sistem nomor urut seperti UU Pemilu. 

Awalnya, KPU masih bersikukuh memakai sistem penandaan dengan mencontreng menggunakan pena. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary pernah menyatakan, kesepakatan mencontreng sebagai tanda yang sah itu ditujukan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan suara maupun petugas di lapangan untuk menghitung suara sah. "Untuk penandaan ini, kami sepakat satu-satunya dengan tanda (adalah) contreng," katanya. 

Terhadap tanda lain seperti menyilang, melingkari, atau menggaris, KPU pun merevisi pernyataannya dengan tetap mengakomodasi mencontreng saja. "Tidak perlu ada tanda lain karena itu malah mempersulit sosialisasi kami," tegasnya.

Terlebih, hasil simulasi surat suara yang dilakukan KPU sebenarnya memberikan angin segar kepada KPU. Mayoritas warga yang berpartisipasi dalam simulasi di Jawa Timur dan Papua ternyata sudah memahami tata cara mencontreng. 

Di Sidoarjo, Jatim, misalnya, di antara 492 warga yang ikut "memilih", hanya ada dua warga yang menandai surat suara dengan mencoblos. Padahal, saat itu sosialisasi mencontreng baru dilakukan KPU saat hari H simulasi.

Dengan data dan fakta tersebut, KPU sebenarnya memiliki modal kuat bahwa menandai dengan mencontreng bisa digunakan sebagai media menandai surat suara Pemilu 2009. Apalagi, dengan keyakinan yang dibawa, KPU bisa melanjutkan hasil simulasi itu dengan mengintesifkan sosialisasi cara baru menandai tersebut kepada pemilih.

Namun, konsistensi KPU itu akhirnya berkompromi dengan desakan sejumlah fraksi DPR. Demi mengakomodasi beragamnya tingkat pendidikan dan pemahaman pemilih, KPU setuju tetap mengakomodasi mencoblos sebagai salah satu alternatif pilihan. 

Bukan hanya itu, pilihan menyilang, melingkari, menggaris, atau memberi tanda lain akhirnya dianggap sah oleh KPU. Tekanan dari sejumlah fraksi di DPR membuat KPU berubah pikiran. "Bagi kami, ini bukan kompromi, namun supaya pemilih tetap diberi kesempatan menandai dengan cara apa pun tanpa mengurangi kesempatan syarat sah suara mereka," tegas Hafiz soal alasan dirinya "menyerah" kepada sejumlah fraksi di DPR. 

Dia juga menyatakan penetapan UU Pemilu pada dasarnya tidak menutup peluang KPU untuk tetap mengakomodasi mencoblos. "Kesepakatan kami, mencoblos adalah sah. Namun, itu bukan pilihan utama pada pemilu ke depan," ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Syarief Hasan mengaku, keputusan rapat konsultasi antara KPU dengan pimpinan DPR yang menyatakan mencoblos tetap sah sesuai aspirasi mayoritas fraksi di DPR. Menurut dia, hanya Partai Golkar yang tetap menginginkan agar pengertian menandai dalam UU Pemilu hanyalah mencontreng. 

Senada, Ketua FPPP Lukman Hakim Saifuddin bersyukur cara mencoblos tetap digunakan pada Pemilu 2009. Menurut dia, umumnya masyarakat kecil sebagai bagian terbesar masyarakat Indonesia memang lebih cenderung memilih metode mencoblos. "Lebih mudah karena sudah terbiasa," ungkapnya. 

Hanya, yang menjadi masalah, mengapa saat pembahasan UU di DPR, metode mencoblos tidak ditampung? Dan setelah jadi UU, baru pendukung pencoblosan bergerak, sehingga muncul kesan tidak konsisten dalam memahami UU. (t. bayuaji/dian w.)
(http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=349737)

Tidak ada komentar: