Kamis, Juli 31, 2008

Membaca Potensi Golput pada Pemilu 2009

Membaca Potensi Golput pada Pemilu 2009

Pengantar
Dari hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) diketahui tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilih atau lazim disebut golongan putih (golput) semakin banyak, bahkan melampaui perolehan suara pemenang pilkada. Wartawan SP Alex Madji, Kiblat Said, dan Aries Sudiono, menuliskan laporan seputar fenomena golput menjelang Pemilu 2009.

Dok SP/Jurnasyanto Sukarno

Perawat di tengah-tengah tugasnya meluangkan waktu untuk memberikan suara di TPS RSCM, Jakarta, 5 April 2004. Sejumlah kalangan memprediksi jumlah golput akan meningkat pada Pemilu 2009.

Pilkada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sudah digelar. Meskipun, pilkada Jawa Timur terpaksa harus melalui dua putaran karena tidak ada satu pun pasangan calon yang meraih suara minimal 30 persen untuk menjadi pemenang, seperti disyaratkan undang-undang. Tetapi yang menarik dari pilkada-pilkada itu, juga di daerah-daerah lain, adalah bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang rendah. Bahkan, persentase masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih atau golput lebih tinggi dari pasangan calon terpilih.

Contoh paling anyar adalah pilkada Jawa Timur. Pada putaran pertama angka golputnya mencapai 39,20 persen. Sedangkan, pasangan peraih suara terbanyak, berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga, yakni pasangan Soekarwo dan Syaifullah Yusuf hanya berkisar 25-26 persen. Sedangkan urutan keduanya Khofifah Indarparawansa-Mudjiono hanya 25 persen. Keduanya diprediksi maju pada putaran kedua.

Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 persen dari 25.861.234 pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Sementara itu, pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih yang dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dipilih 43,44 persen pemilih.

Dalam pilkada Jawa Barat, angka golput mencapai 9.130.604 suara. Sementara Ahmad Heriawan-Dede Yusuf terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat hanya memperoleh 7.287.647 suara atau 40,50 persen. Dua pasangan lainnya, Agum Gumelar-H Nu'man Abdul Hakim (Aman) meraih 6.217.557 suara (34,55 persen) dan pasangan Danny Setiawan-Iwan Sulanjana (Da'i) memperoleh 4.490.901 suara (24,95 persen).

Dalam pilkada DKI Jakarta, masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 persen atau 2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Fauzi Bowo-Prijanto yang dicalonkan oleh banyak partai politik, termasuk Partai Golkar dan PDI-P, hanya meraih 2.010.545 atau 35,1 persen suara. Sedangkan pesaingnya yang dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun dan Dani Anwar hanya meraih 1.467.737 atau 25,7 persen suara.

Sedangkan dalam pilkada Sumatera Utara, golput mencapai 40,01 persen. Pasangan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho (Syampurno) yang menjadi pemenang hanya meraup 28, 31 persen suara. Sedangkan pasangan peraih suara terbanyak kedua, yakni pasangan yang diusung PDI-P Tritamtomo-Benny Pasaribu (Triben) meraih 21,97 persen suara.

Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P, angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 persen dan NTT 20 persen. Pilkada NTT dimenangi Frans Lebu Raya-Esthon L Foenay, pilkada Bali dimenangi Made Mangku Pastika-Anak Agung Ngurah Puspayoga, dan pilkada Maluku dimenangi mutlak oleh pasangan Karel Albert Ralahalu-Said Assagaff

Amburadul

Tingginya angka golput dalam pilkada itu disebabkan oleh macam-macam faktor. Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) melihat, penyebab paling dominan adalah proses pendaftaran pemilih yang amburadul. Persoalan dasarnya ada pada data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang dibuat pemerintah. DP4 itu diserahkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kepada KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Selanjutnya KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota memverifikasi data itu, kemudian menyusun daftar pemilih sementara (DPS). Ternyata, banyak DP4 yang diserahkan itu tidak valid. Berkali-kali, data itu dikembalikan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, tetapi tidak ada perbaikan signifikan.

Akibatnya, kata Koordinator Nasional JPPR Jeirry Sumampow, data fiktif masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena data dasarnya saja sudah kacau. Maka, tidak heran kalau angka orang yang tidak menggunakan hak pilih sangat tinggi. Bahkan di hampir setiap tempat pemungutan suara (TPS), jumlah angka fiktif itu mencapai 50 persen.

Jeirry mencontohkan dalam pilkada Jawa Timur, berdasarkan pemantauan JPPR di Kabupaten Banyuwangi, ada sebuah TPS yang seluruh pemilihnya fiktif. Orang-orang yang terdaftar sebagai pemilih tetap ternyata sudah lama pindah, ada yang sudah meninggal, dan sedang ke luar kota. Akibatnya, tidak satu pun pemilih yang memberikan suara di TPS itu. Yang memilih di situ hanya petugas TPS. 

Contoh lain, dalam pilkada di Sumatera Utara. Jeirry menemukan tumpukan kartu pemilih yang tidak terbagi. "Artinya kan orang-orang itu tidak mungkin memilih," ujarnya.

Jeirry yakin, bila data awalnya akurat, maka DPS dan DPT juga akan akurat. Pada akhirnya, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada juga akan tinggi. 

Meski demikian, dia juga mengakui adanya faktor apatisme dari masyarakat terhadap pilkada. Tetapi, menurut dia, persentasenya sangat kecil. 

Kesaksian yang sama juga disampaikan mantan anggota KPU Mulyana W Kusumah. Berdasarkan pembicaraannya dengan sejumlah anggota KPU provinsi, disimpulkan bahwa tingginya angka golput dalam pilkada karena proses pendataan pemilih yang amburadul. Dan itu semua berawal dari data yang diserahkan pemerintah ke KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.

Apalagi, metode pendaftarannya menggunakan sistem daftar pemilih aktif, di mana masyarakat sendiri yang aktif bertanya dan mendaftarkan diri sebagai pemilih, bila belum tercantum dalam DPS. Sementara itu, petugas sifatnya pasif menunggu. 

Sistem ini, kata Mulyana, turut menyumbang tingginya angka golput. Sebab, masyarakat yang sudah jenuh, masa bodoh, dan apatis, dengan seluruh proses pemilu, tidak terbantu untuk terdaftar sebagai pemilih.

Sedangkan, HM Darwis, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyatakan seseorang yang tak menggunakan hak suara, tidak selalu berarti golput. Penyebabnya, justru bersumber dari kelalaian pemerintah saat melakukan pendataan pemilih. 

"Ada orang mau memilih tetapi namanya tak terdaftar, ada yang namanya terdaftar tetapi orangnya tidak ada, bahkan ada yang sudah meninggal. Semua itu bersumber dari ketidakakuratan data dari Dinas Kependudukan kabupaten dan kota," ujarnya.

Pemilu 2009

Tingginya angka golput pada hampir seluruh pilkada di Indonesia itu, potensial terjadi lagi pada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden 2009. Jeirry melihat, proses pendaftaran pemilih untuk pemilu 2009 tidak beda dengan proses pendataan pemilih dalam pilkada di berbagai daerah itu. KPU mendasarkan diri pada data yang diserahkan pemerintah. Sementara data itu tidak valid. Padahal, data pemerintah itu menjadi penentu valid-tidaknya data pemilih sementara dan pemilih tetap yang akan dibuat KPU. 

"Kalau kita tanya ke KPU, mereka bilang data yang diterima dari Depdagri tidak valid. Tetapi kan KPU kita ini tidak mau ngomong itu ke publik," kata Jeirry.

Belum lagi sosialisasi KPU tentang pendaftaran pemilih, sampai saat ini masih sangat sepi. Tidak ada gaungnya sama sekali. Masyarakat tidak mendapat informasi sepotong pun tentang bagaimana, di mana, dan kapan masyarakat harus mendaftarkan diri sebagai pemilih untuk Pemilu 2009. Padahal, pengumunan DPS tidak lama lagi diumumkan. "Nah, coba kita tanya masyarakat, siapa yang tahu sedang melakukan pendataan pemilih, pasti tidak ada yang tahu. Apalagi sosialisasi KPU tidak ada sama sekali. Sementara waktu perbaikan DPS oleh masyarakat hanya satu minggu," tuturnya. 

Dengan dua fakta itu saja, baik Jeirry maupun Mulyana, menyimpulkan bahwa angka golput pada pemilu 2009 akan sangat tinggi. Kecuali, kalau KPU cepat sadar dan segera membenahi sistem pendataan pemilih dan mengintensifkan sosialisasi. Bila masih seperti saat ini, kesimpulan seperti itu akan valid.

Senada dengan mereka, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Imam Suprayogo memprediksi golput akan mencapai lebih dari 35 persen pada Pemilu 2009, jika semua pihak tidak menyosialisasikan pemahaman pentingnya pemilu sebagai bagian dari demokrasi. Sosialisasi itu bukan hanya dengan berpidato, namun dengan teladan. "Kalau mayoritas rakyat merasa pemilu itu memilih pejabat, dapat diprediksi golput akan menggelembung, karena mereka merasa aneh, pejabat kok dipilih. Beda lho kalau rakyat diminta memilih pemimpin. Tanpa diminta, mereka pasti datang berbondong-bondong, karena mereka memang butuh pemimpin, bukan butuh pejabat," ujarnya. 

Untuk menekan golput, semua pihak, baik pemerintah, KPU, partai politik, serta seluruh elemen masyarakat sipil, harus bekerja keras. KPU harus gencar melakukan sosialisasi dam memastikan bahwa semua pemilih sudah terdaftar dalam DPS. Karena itu, KPU jangan lagi menggunakan sistem daftar pemilih aktif. Sebab di tengah situasi rakyat yang mengalami kejenuhan politik, sistem seperti itu tidak berjalan. Petugas KPU harus aktif mendatangi masyarakat, kapan dan dimana pun mereka berada. 

Selain itu, partai politik juga harus memobilisasi pendukungnya untuk mendaftarkan diri sebagai pemilih. Partai politik harus memastikan konstituen dan masyarakat pada umumnya terdaftar sebagai pemilih. Apalagi, dalam undang-undang yang baru, diatur bahwa DPS sebelum ditetapkan sebagai DPT harus diserahkan ke partai politik peserta pemilu. Dengan aturan seperti itu diharapkan, bila dalam DPS ada konstituen partai yang belum terdaftar, partai politik bersangkutan segera melapor ke petugas KPU untuk kemudian didaftarkan sebagai pemilih. Apalagi, pengurus partai politik itu ada sampai tingkat kecamatan.

Hanya dengan memperbaiki DP4, sosialisasi yang gencar, mengubah sistem pendaftaran pemilih oleh KPU, pendidikan politik dan mobilisasi masyarakat dan konstituen oleh partai politik peserta pemilu serta oleh berbagai elemen masyarakat sipil lainnya agar terdaftar sebagai pemilih, maka partisipasi pemilih pada Pemilu 2009 bisa meningkat, dibanding pilkada-pilkada di seluruh Indonesia, terutama pilkada di Jawa. Usaha-usaha seperti itu diharapkan mampu menggairahkan masyarakat terlibat dalam pesta demokrasi paling akbar, sekaligus dapat menekan angka golput pada Pemilu 2009. Semoga
(http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/31/Sorotan/sorot01.htm)

Tidak ada komentar: