Kamis, April 23, 2009

Pasang Kader di Setiap Poros - Golkar Ceraikan Demokrat

Pasang Kader di Setiap Poros
Golkar Ceraikan Demokrat

JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar akhirnya meninggalkan skenario duet SBY-JK. Keputusan itu diambil dalam rapat pengurus harian DPP Partai Golkar kemarin yakni menghentikan negosiasi berkoalisi dengan Partai Demokrat. Keputusan dilakukan setelah sepekan terakhir tim negoisasi Golkar gagal meyakinkan SBY untuk menerima JK sebagai calon wakil presiden.

Rapat tiga jam tersebut dipimpin langsung JK dan dihadiri Wakil Ketua Umum Agung Laksono, Sekjen Soemarsono dan seluruh ketua-ketua bidang di DPP Partai Golkar. "Setelah komunikasi politik yang intensif dengan tim Partai Demokrat, rencana koalisi untuk melanjutkan duet SBY-JK tidak didapat titik temu," terang Soemarsono.

Macetnya perundingan disebabkan perbedaan mendasar tentang format koalisi. DPP Partai Golkar menghendaki hanya satu nama kader Golkar yang diusulkan sebagai cawapres. Bila usulan ini diterima, DPP Partai Golkar akan mengupayakan agar keputusan tersebut berhasil lolos di Rapimnas Partai Golkar di Hotel Borobudur hari ini.

Namun, usulan itu ditolak Demokrat yang menilai usulan itu hanya siasat DPP Partai Golkar untuk menyodorkan lagi nama JK sebagai satu-satunya calon wakil presiden. Demokrat menginginkan Golkar memberikan alternatif sejumlah nama cawapres yang secara resmi direkomendasikan partai pada SBY untuk selanjutnya dipilih salah satu di antaranya.

"Sesuai keputusan Rapimnas pada 2008, Golkar hanya akan mengusulkan satu nama calon wakil presiden bila kalah di pemilu legislatif. Karena itu, Golkar tidak bisa membawa lebih dari satu nama cawapres. Sebaliknya, Demokrat bersikukuh minta lebih dari satu nama," terang Ketua DPP Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan DPP Partai Golkar Syamsul Muarif.

Menurut Syamsul, keputusan hanya mengajukan satu nama tersebut untuk menghindari perpecahan di internal partai. Selain itu, pemaksaan agar Golkar mengajukan lebih dari satu nama bertentangan dengan independensi Golkar sebagai partai yang berhak memiliki keputusan politik sendiri.

"Tim Golkar membawa pesan sesuai mekanisme partai, sementara tim Demokrat membawa pesan bahwa hanya owner Demokrat (SBY, red) yang berhak mendikte (format koalisi)," terang Syamsul.

Karena negosiasi sepekan terakhir macet, rapat pengurus harian kemarin akhirnya memutuskan menghentikan negosiasi dengan Partai Demokrat. DPP Partai Golkar selanjutnya memberi mandat kepada JK untuk mendekati pimpinan-pimpinan partai lain guna membentuk poros baru menantang calon presiden dari Demokrat di pemilu presiden atau bergabung dengan poros yang sudah ada.

"Ketua umum harus bergerak cepat melakukan komunikasi politik karena waktu yang dimiliki Golkar hanya tersisa satu hari, karena hasil pembicaraan harus dilaporkan kepada pengurus daerah (di arena Rapimnasus)," kata Soemarsono.

Menindaklanjuti keputusan tersebut, kemarin petang JK bertemu dengan SBY untuk menyampaikan keputusan DPP Partai Golkar. JK dikabarkan berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas kerja sama dengan SBY di pemerintahan selama empat tahun terakhir. Meski demikian, JK berkomitmen untuk meneruskan kerja sama di pemerintahan sampai berakhirnya masa jabatan presiden-wakil presiden pada Oktober mendatang.

Ketika JK bertemu SBY, Ketua Dewan Penasihat Golkar Surya Paloh dikabarkan bertemu dengan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Surya ditugaskan melobi Mega agar membuka kembali rencana koalisi Golkar-PDI Perjuangan. Rencana koalisi itu sempat mati suri sejak Golkar memutuskan untuk merapat ke Cikeas setelah kalah suara di pemilu legislatif.

Hari ini, JK juga dikabarkan akan menerima Ketua Dewan Pertimbangan Partai PDI Perjuangan Taufiq Kiemas dan Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung Wibowo. Sejumlah pengurus DPP Golkar membisikkan, bila koalisi ini terwujud, JK hampir dipastikan menjadi calon presiden dan wakilnya diusung dari PDI Perjuangan.

Ini sesuai kesepakatan di bawah tangan antara PDIP dan Golkar. Yakni siapa pun partai yang berhasil mendapatkan suara lebih besar di pemilu legislatif akan didukung mendudukkan calon presiden, sementara partai yang lebih kecil suaranya mengusung calon wakil presiden. "Jadi cawapresnya belum tentu Bu Mega, tapi diajukan secara resmi oleh PDI Perjuangan," terang sumber di internal Golkar ini.

Bila dua partai ini bergabung, Golkar meyakini akan mudah menarik dua partai pemenang pemilu lainnya, yakni Gerindra dan Hanura. Bahkan, bukan tidak mungkin bila rencana koalisi ini juga didukung PPP. "Meski PPP kini masih dikuasai kubu Bachtiar yang pro-SBY, namun bisa saja di Rapimnas PPP berbalik mendukung kubu Golkar-PDI Perjuangan karena kader-kadernya kecewa partainya telah diobok-obok partai pemenang pemilu," katanya. Sementara itu, internal Golkar sendiri terbelah dengan keputusan DPP Partai Golkar tersebut. Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar Marzuki Darusman menilai keputusan tersebut hanya keputusan sepihak DPP, bukan keputusan Golkar. Keputusan itu masih bisa berubah kalau Rapimnasus memutuskan untuk mencalonkan kader selain JK yang bisa diterima SBY, seperti Akbar Tandjung.

Bila skenario ini diterapkan, artinya Golkar akan tetap berkoalisi dengan Demokrat. Namun, bila Akbar gagal meyakinkan Rapimnasus, bisa jadi Golkar akan mengusung JK sebagai capres, namun Akbar Tandjung akan maju sebagai cawapres mendampingi SBY secara personal. Dan kemungkinan Golkar juga akan memasang Sultan HB X di PDIP bersama Megawati.

Ini artinya skenario tersebut akan sama persis dengan peta pada Pemilu Presiden 2004. Yakni, Golkar sengaja memasang tiga kadernya di setiap poros. Ketika itu, Golkar secara institusi mendukung duet Wiranto-Wahid. Namun, dua kader Golkar disusupkan menjadi cawapres dari partai lain, yakni Siswono Yudhohusodo sebagai cawapres mendampingi Amien Rais dan JK yang mendampingi SBY. "Artinya, siapa pun pemenangnya, Golkar tetap akan ada di pemerintahan," terang salah satu petinggi DPP Golkar tersebut.

Namun, skenario itu langsung ditepis Demokrat. Salah satu anggota Tim Sembilan Demokrat Hayono Isman mengatakan, SBY dan Demokrat hanya bersedia menerima calon presiden yang diusulkan secara resmi oleh partai.

Demokrat tidak akan mengambil cawapres dari perseorangan seperti pada Pemilu 2004 lalu. Secara tidak langsung, Demokrat akan menolak Akbar Tandjung bila tidak direkomendasikan secara resmi oleh Partai Golkar di Rapimnasus hari ini.

Politisi senior Partai Golkar Ginandjar Kartasasmita sangat kecewa dengan sikap yang ditempuh para pengurus harian DPP Partai Golkar itu. Menurut dia, ini mengingkari keputusan partai yang akan menetapkan arah koalisi dan penentuan capres-cawapres melalui mekanisme Rapimnasus Kamis hari ini.

"DPP Golkar sudah gegabah dan tidak demokratis. Mereka tidak mengindahkan suara daerah dalam persoalan yang begitu sangat mendasar bagi partai," sesal mantan Wakil Ketua Dewan Penasihat Golkar yang kini menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu.

Tanpa sungkan-sungkan, Ginandjar mengkritik keras JK. Dia menyampaikan, JK seharusnya menaati peraturan dan mekanisme partai setiap kali mengambil keputusan. "Golkar bukan sebuah perusahaan dan ketua umum partai bukan seperti pemilik perusahaan," kata Ginandjar. Karena itu, Ginandjar meminta DPD-DPD tingkat I dan II menolak keputusan DPP tersebut. Apalagi, tegas dia, keputusan itu diambil hanya dalam Rapat Harian. "Bahkan, disebut Rapat Pleno saja bukan," cetusnya.

Ginandjar mengingatkan agar jajaran DPD Partai Golkar bersikap hati-hati dan arif dalam mengevaluasi situasi politik dewasa ini dalam Rapimnasus. Keputusan yang diambil haruslah keputusan yang terbaik bagi masa depan partai dan bangsa. "Kepentingan pribadi siapapun harus dikesampingkan," katanya.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia Andrinof A Chaniago mengatakan, pecah kongsinya Demokrat dengan Golkar memang membuka spekulasi baru. JK berkemungkinan membawa beringin masuk ke kandang 'banteng gemuk moncong putih', yakni PDIP.

Hanya, kalau pilihan itu yang diambil, Andrinof berspekulasi, JK akan berhadapan dengan masalah baru. "Baik posisi capres ataupun cawapres sama saja. Apa pun yang didapat, tetap saja tidak enak buat JK. Sebab, besar kemungkinan JK hanya maju untuk kalah,” kata Direktur Cirus Surveyors Group itu.

Menurut Andrinof, hanya ada dua pilihan politik terbaik bagi JK. Dua alternatif itu adalah tetap menjadi cawapres SBY atau menjadi negarawan. "Di luar dua opsi itu, hanya pengorbanan tak bermanfaat," katanya.

Apakah JK yang pengusaha tidak memperhitungkan kecilnya peluang dirinya untuk menang kalau maju dengan capres selain SBY? "Kalau dia pribadi, tanpa ada gosokan pihak lain, saya yakin mungkin akan memilih mundur. Tapi tampaknya dia juga sudah terpengaruh emosi elite Golkar yang lagi tinggi itu," jawab Andrinof. 
(http://www.radar-bogor.co.id/index.php?ar_id=MjkzNjc=&click=MTAz)

Tidak ada komentar: