Jumat, April 24, 2009

Siap Beroposisi Bila Kalah Pilpres (Golkar-PDIP Sepakat Koalisi)

Siap Beroposisi Bila Kalah Pilpres
Golkar-PDIP Sepakat Koalisi

JAKARTA - Penjajakan koalisi terus dilakukan Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Tadi malam, Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla bertemu dengan Ketua Dewan Pembina DPP PDI Perjuangan Taufiq Kiemas di Posko Slipi II Jalan Ki Mangunsarkoro Jakarta Pusat.

Berbeda dengan rapat-rapat sebelumnya, Jusuf Kalla tidak didampingi fungsionaris DPP Partai Golkar. Kalla hanya didampingi Ketua Dewan Penasihat DPP Partai Golkar Surya Paloh, Sekjen Soemarsono, Wasekjen Iskandar Mandji, Wakil Bendahara Umum Halim Kalla dan Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud yang juga ipar Jusuf Kalla.

Dalam pertemuan itu, Taufiq Kiemas didampingi sejumlah petinggi DPP PDI Perjuangan, yakni Sekjen Pramono Anung Wibowo, Ketua Bappilu Tjahyo Kumolo, Ketua DPP Arif Budimanta, Ketua DPP Puan Maharani dan fungsionaris DPP Panda Nababan.

Taufiq Kiemas datang ke Posko Slipi II sekitar pukul 19:40 dengan Range Rover Sport B 8492 BS dan Toyota Lexus B 8473 BS. Dia disambut Jusuf Kalla di depan pintu rumah kontrakan yang disewa DPP Partai Golkar untuk rapat-rapat pemenangan pemilu tersebut.

Pertemuan yang berakhir sekitar pukul 20:35 menghasilkan kesepakatan kedua partai untuk berkoalisi di pemilu legislatif. "Kedua partai sepakat untuk bekerjasama membangun pemerintahan yang kuat. Istilahnya frame-nya sudah kita sepakati, tapi untuk mengisi frame akan dibicarakan lebih lanjut," ujar Jusuf Kalla.

Untuk menindaklanjuti pertemuan tadi malam, Jusuf Kalla malam ini sekitar pukul 19:30 akan bertamu ke kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar Menteng Jakarta Pusat.

"Kami akan memberi kesempatan ketua umum Golkar bertemu ketua umum PDIP untuk berbicara dari hati ke hati agar segala permasalahan selesai dalam waktu yang sesingkat-singkatnya," ujar Taufiq Kiemas.

Taufik menjanjikan pertemuan nanti malam akan menghasilkan kesepakatan tentang posisi capres dan cawapres koalisi Golkar-PDIP serta partai-partai yang akan diajak menjadi pendukung koalisi.

"Mohon maaf, berita besarnya baru besok (nanti malam), belum malam ini (tadi malam). Butuh beberapa pertemuan summit meeting dan dilanjutkan dengan pertemuan teknis untuk menyelesaikan masalah yang ada," terangnya.

Setelah dipastikan bercerai dengan SBY, Jusuf Kalla mulai mengeluarkan komentar kritis pada SBY. Forum Rapat Pimpinan Nasional Khusus Partai Golkar seolah menjadi ajang pembelaan diri Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla.

Di depan peserta Rapimnas, Kalla membeberkan sejumlah penyebab kekalahan Golkar di pemilu legislatif sekaligus mengklarifikasi sejumlah hal yang menyebabkan Partai Demokrat menolaknya menjadi calon wakil presiden pendamping SBY.

Membuka pidatonya, Jusuf Kalla yang mengenakan jas kuning menegaskan dirinya bertanggung jawab penuh atas kegagalan Golkar merealisasi target perolehan suara 25-30 persen di pemilu legislatif. "Saya tidak membela diri di sini. Sebagai ketua umum saya bertanggung jawab penuh pada hasil pemilu secara nasional, dan pengurus daerah bertanggung jawab pada perolehan suara untuk daerah masing-masing," katanya.

Kalla menuturkan, sebagai partai pendukung pemerintah, Golkar telah menjalankan tugas pemerintahan dengan baik. Buktinya, kepuasan masyarakat atas keberhasilan pembangunan lebih tinggi dibanding awal pemerintahan.

"Namun, keberhasilan pemerintah tidak bisa dikapitalisasi maksimal oleh Golkar, karena posisi kita bukan partai utama di pemerintahan," katanya.

Selain itu, jumlah partai peserta pemilu yang sangat besar dan penyebaran suara akibat adanya dua kader Golkar yang mendirikan partai politik sendiri menyumbang penurunan suara Golkar.

Kalla juga mengakui kelemahan DPP Partai Golkar mengklaim sejumlah program yang mendapat apresiasi tinggi dari rakyat, seperti pembagian bantuan langsung tunai dan penurunan harga bahan bakar minyak. Kalla mengakui, Golkar tidak ikut mengklaim program-program yang menaikkan suara Partai Demokrat, karena sudah ada kesepakatan di kabinet tidak boleh ada partai anggota koalisi yang berhak mengklaim keberhasilan program-program pemerintah.

"Penyebab lain adalah banyaknya laporan dari daerah-daerah basis tradisional suara Golkar tentang kisruh daftar pemilih tetap, sehingga banyak suara kader Golkar yang hilang," katanya.

Karena kekalahan di pemilu legislatif tersebut, Golkar harus realistis menghadapi pemilu presiden dengan menjalin koalisi bersama partai-partai lain. Berdasarkan rapat pengurus harian, kata Kalla, Golkar memprioritaskan kerjasama koalisi dengan Partai Demokrat yang telah bekerjasama di pemerintah lima tahun terakhir.

Namun, tim negosiasi kedua partai yang selama sepekan berunding menemui buntu karena Demokrat meminta Golkar mengajukan lebih dari satu nama calon wakil presiden mendampingi SBY. Secara tidak langsung, Demokrat meminta Golkar tidak lagi mencalonkan Jusuf Kalla sebagai wakil presiden.

Jusuf Kalla menegaskan, perundingan rencana koalisi dengan Demokrat dihentikan karena Golkar sebagai pemenang tidak ingin merendahkan diri. Golkar berpendapat koalisi di pemerintahan harus sepadan karena siapa pun yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden harus bekerja yang sama beratnya dan memiliki tanggung jawab yang sama besar.

Kalau berkeinginan menjalin koalisi, Partai Golkar harus menentukan sendiri siapa yang mewakili partai di pemerintahan. Bukan pihak lain yang memilih siapa yang akan dipilih, karena ini tanggung jawab partai, bukan pribadi. "Dengan demikian, koalisi bisa sepadan, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain," tegas Kalla.

Jusuf Kalla menandaskan, Golkar adalah partai besar yang dipercaya puluhan juta orang. Sebagai partai besar, Golkar punya harga diri (marwah) partai sehingga punya pendirian sendiri. "Golkar bukan partai pembeo yang bisa didikte ini-itu," tegasnya.

Jusuf Kalla menandaskan, kader-kader Golkar di pemerintahan telah berbuat yang terbaik. Dia mencontohkan, bantuan langsung tunai yang diklaim sebagai hasil pekerjaan Partai Demokrat dan SBY merupakan hasil pekerjaan Partai Golkar.

"BLT itu kami (Jusuf Kalla) yang konsepkan, Menko Kesra (Aburizal Bakrie-anggota Dewan Penasihat DPP Partai Golkar) yang melaksanakan," tandasnya.

Kalla juga membantah bila selama berduet dengan SBY sebagai wakil presiden memposisikan dirinya sebagai co-chairman, yang memiliki wewenang mengambil keputusan sebesar yang dimiliki presiden.

"Tidak ada keputusan pemerintah apa pun yang diambil tanpa keputusan presiden. Wakil presiden memang mengambil keputusan tapi sifatnya teknis. Keputusan wapres tidak akan pernah dilaksanakan bila tidak disetujui presiden," tandasnya.

Selain Bantuan langsung tunai, Kalla juga mengklaim keberhasilan swasembada pangan dan infrastruktur yang mencorong di era kepemimpinan SBY-JK sebagai hasil pekerjaan kader-kader Golkar. "Saya turun langsung ke lapangan untuk mendorong, memantau, dan memberi arahan agar kita bisa swasembada, dan pembangunan infrastruktur berjalan seperti yang kita rasakan sekarang," tandasnya.

Kalla membenarkan pernyataan SBY yang menyatakan tidak pernah ada pembagian kekuasan antara presiden dan wakil presiden, dimana presiden dikabarkan fokus pada bidang politik dan keamanan, serta wapres mengurusi pembangunan ekonomi.

"Memang tidak ada pembagian kekuasaan, karena keamanan, ketertiban, dan stabilitas politik juga saya yang mengurus. Karena itu kita bisa menyelesaikan konflik di Aceh," katanya berapi-api disambut tepuk tangan kader-kader Golkar yang hadir di Rapimnasus.

Bila presiden mengklaim keberhasilan tanpa menghitung kontribusi Golkar, kata dia, maka presiden sudah melupakan stabilitas politik yang selama lima tahun diperjuangkan Golkar di parlemen dan di percaturan politik nasional. "Selama lima tahun, Golkar yang bemper pemerintah. Pak Agung (Wakil Ketua DPP Golkar Agung Laksono) yang paling tahu hal itu," katanya.

Kalla mengakui, selama lima tahun ada kalanya Partai Golkar bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah di parlemen. Namun, dia menilai sikap tersebut karena Golkar adalah partai modern yang tidak membeo pada semua kebijakan pemerintah tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat.

"Kalau ada perbedaan pendapat itu karena kita tidak ingin jadi yes man lagi. Partai Golkar justru memberi masukan untuk memperkuat keputusan. Bukankah kalau ada kritikan itu DPR itu justru kita dambakan, karena menandakan demokrasi kita sehat? Tanpa kritik DPR, pemerintah akan menjadi diktator" tandasnya.

Dalam pidatonya, Kalla juga menanggapi sorotan publik pada partainya yang identik dengan korupsi. Dia menegaskan, kader Golkar di bawah kepemimpinannya tidak pernah ada yang tertangkap karena melakukan tindak pidana korupsi. Meski ada beberapa kader Golkar yang berurusan dengan hukum, kasus-kasus yang menjeratnya dilakukan sebelum periode 2004-2009.

Hal itu disebabkan DPP Partai Golkar melarang kader-kader Golkar yang duduk di parlemen dan pemerintahan melakukan kegiatan yang menguntungkan material partai. DPP juga tidak lagi mengutip sumbangan di luar ketentuan pada kader-kadernya untuk membiayai kegiatan-kegiatan partai. "Ini membuat kader-kader Golkar di DPR bersih dari tindak pidana korupsi," terangnya.


Golkar Siap Beroposisi bila Kalah Pilpres

Jusuf Kalla menegaskan, pada pemilu legislatif 2009, perolehan suara Golkar turun sekitar 6 persen dibanding pemilu legislatif 2004. Ini menyebabkan kursi Golkar di DPR turun sekitar sembilan kursi dari 126 kursi yang dikuasai Golkar tahun ini. Karena itu, bila nantinya Golkar kalah di pemilu presiden, Golkar tidak akan ragu bila harus beroposisi.

"Selama di pemerintahan atau oposisi itu untuk kepentingan rakyat, nilai amalnya sama saja. Golkar memang tidak terbiasa jadi oposisi, tapi kita harus membiasakannya. Menjadi oposisi juga amalan yang baik," tegasnya.

Dengan bergurau, Kalla menilai beroposisi jauh lebih mudah dilakukan Golkar dibanding membela pemerintah. "Kita tinggal cari kesalahan, hantam, lalu keluar ruangan, selesai," selorohnya.

Golkar saat ini juga menguasai pemerintahan di daerah. Ini karena Golkar memenangi 40 persen pilkada. Bila bergabung dengan PDIP yang memenangi 35-40 persen pilkada, kekuatan oposisi akan sangat menentukan baik dan buruknya pemerintahan.

"Tidak bisa dibayangkan hasil pembangunan dan imej pemerintah kalau tidak ada Golkar di pemerintahan. Karena itu, dalam waktu dekat akan kita panggil semua bupati-gubernur Golkar untuk memenangkan kita di pemilu presiden," tandasnya.

Kalla juga menjelaskan mengapa dalam kampanye pemilu legislatif lalu Golkar menggunakan tag line kampanye lebih cepat, lebih baik. "Pemerintah sekarang ini baik dan sangat baik. Tapi kalau pemerintahan dipimpin Golkar, hasilnya pasti akan lebih cepat dan lebih baik. Saya tidak pernah mengkritik orang (SBY) lebih lambat dan lebih buruk, tapi kalau kita tidak katakan itu apa yang kita jual. Masak saya katakan dipimpin Golkar akan lemah dan buruk," katanya disambut tawa kader-kadernya.
(http://www.radar-bogor.co.id/index.php?ar_id=Mjk0MDg=&click=MzQ=)

Tidak ada komentar: